Minggu, 08 Desember 2013

Hello,good bye :')

“APA kamu mau jadi pacar aku?” tanya Kevin, dengan
mimik gugup. Tiba-tiba, secuil keraguan tersirat dari
ekspresi wajah Zenna.

“Jadi, apa jawabanmu atas pertanyaanku tadi, Zen?”
kembali tanya Kevin, pada Zenna.

“Apa kamu akan menerimanya? Atau, malah menolaknya?”
lagi-lagi Kevin mengajukan pertanyaan, setelah dua
pertanyaan sebelumnya hanya terjawab dengan diam.

“Aku butuh waktu untuk menjawabnya,” akhirnya, Zenna
berbicara juga.

“Mengapa demikian? Apa tak bisa langsung saja kamu
jawab?”

“Aku sudah menjawab. Dan jawabanku adalah; aku butuh
waktu.”

Tiba-tiba, Kevin melepepaskan sendok dan garpu dari
kedua tangannya, menyedot minumannya dengan cepat,
mengelap bibirnya dengan secarik tisu, menaruh selembar
uang kertas berwarna merah di atas meja, lalu berdiri, dan
meraih tangan Zenna, menariknya masuk ke dalam mobil.

“Kita mau ke mana?” tanya Zenna, dengan raut wajah
yang diselimuti bingung. Kevin hanya diam, dan memacu
mobilnya dengan cepat.

• • •

SETIBANYA di sebuah tempat, Kevin keluar dari mobil lebih
dulu, dan berjalan beberapa langkah menjauh dari
mobilnya. Zenna pun menyusul tak berapa lama kemudian.

“Ada maksud apa kamu membawaku ke sini?” tanya Zenna,
sembari berjalan perlahan mendekati Kevin.

“Aku tahu..,” balas Kevin.

“Maksudmu?”

“Kamu hanya butuh diyakinkan, kan?” ucap Kevin, lantas
menatap mata Zenna. Namun Zenna membalasnya hanya
dengan membuang pandangan ke arah berlawanan. Di
dalam hati, Zenna mengiyakan perkataan Kevin barusan.
Respon Zenna membuat Kevin menghela nafas panjang, lalu
melanjutkan kembali perbincangan;

“Baiklah kalau begitu. Besok, jam delapan pagi, temui aku
di tempat kita berdiri sekarang ini. Dan, tolong.. tolong
jangan terlambat,” tambah Kevin.

“Maksud kamu apa, sih?” ketus Zenna, mewakili ribuan
tanda tanya yang berserakan di dalam kepalanya.

“Sudah malam, mari kuantar kamu pulang,” tutup Kevin,
tanpa menghiraukan pertanyaan Zenna yang terakhir.
Lantas ia masuk ke dalam mobil duluan. Zenna tak bisa
berbuat banyak. Berbagai macam prasangka mengiringi
langkahnya masuk ke dalam mobil, pun menemani diamnya di
sepanjang perjalanan pulang.

• • •

KEESOKAN paginya, setelah Zenna tiba di tempat yang
malam tadi dijanjikan oleh Kevin; nafas Zenna bertarik-
ulur, beberapa butir keringat kecil terlihat menggumpal di
wajahnya.

“Sial! Aku terlambat!” ketusnya dalam hati. Belum lagi
nafasnya kembali stabil, lagi-lagi jantung Zenna dipaksa
berdetak kencang.

Plok!

Seseorang menepuk pundak Zenna dari belakang. Zenna
pun bergegas membalikkan badannya.

“Eh?! Kamu mengagetkanku saja!” ucap Zenna.

“Maaf, Mba, saya cuma mau menyerahkan titipan ini,”
ucap seseorang, sembari menyodorkan sebuah kotak
kepada Zenna.

“Dari siapa?” tanya Zenna, seraya meraih kotak tersebut.

“Saya juga kurang tahu, Mba. Hanya saja, pria itu
berpesan, kalau ada wanita yang sebaya dengannya, yang
datang ke sini dengan nafas ngos-ngosan , saya diminta
untuk memberikan barang yang Mba pegang itu.”
Mendengar perkataan lawan bicaranya itu, kening Zenna
mengerut, dan bergumam dalam hati;

“Sialan itu anak! Tahu saja kalau aku ini orang yang
lelet!”

“Lalu, sekarang di mana pria itu?” tanya Zenna, kembali
melanjutkan perbincangan.

“Sepertinya ia sudah terbang bersama pesawat yang
berangkat sekitar duapuluh menit yang lalu, Mba,” ucap
orang itu, yang tak lain adalah salah satu petugas
bandara.

“Hah?!” Zenna kaget mendengar ucapan petugas bandara
tersebut.

“…ng, baiklah kalau begitu. Terima kasih, ya, Mas,” ucap
Zenna, menutup perbincangan. Setelah itu, Zenna
bergegas masuk ke dalam mobilnya, dan pulang ke rumah.

• • •

“JIKA saja, malam tadi aku tidur lebih cepat, tentu pagi
ini aku tidak akan terlambat,” gumam Zenna dalam hati,
sembari melihat jam dinding yang kedua jarumnya
menunjuk ke angka sembilan.

“…tapi, ya, mau bagaimana lagi? Tadi malam aku menjadi
susah tidur karena menerka-nerka apa yang dimaksud oleh
Kevin,” kembali Zenna bergumam dalam hati. Kali ini,
dengan kedua tangan yang mengusap-usap sebuah kotak
yang tidak begitu besar, yang terbungkus oleh kertas kado
berwarna cokelat muda, dan dibalut dengan pita berwarna
cokelat tua.

Tak berapa lama kemudian, Zenna membuka kotak
pemberian Kevin itu. Ia temui sebuah buku diary, yang
terbalut oleh pita berwarna putih. Tak hanya itu; sebuah
cincin dengan ukiran nama Kevin, juga sebuah surat, turut
berada di dalam kotak tersebut. Zenna membuka lipatan
surat itu, dan membacanya.

Zenna Adinda Kurniasari,

Maaf telah pergi tanpa pamit terlebih dulu.
Dan, maaf atas telah membuatmu menjadi susah tidur
malam tadi.
Kamu pasti bertanya-tanya, apa maksud dari semua ini..
Sederhana saja, Zen;

Kamu pun tahu, masih ada sesuatu yang masih belum kamu
lunasi padaku.
Iya, sebuah jawaban yang aku tunggu-tunggu. Jawaban
atas pertanyaan yang sudah lama sekali ingin aku ajukan
padamu. Namun, baru kemarin malamlah kutemui waktu
yang tepat untuk menanyakan hal itu padamu. Sebab Ibu
berpesan padaku, bahwa; waktu tak akan menunggu
mereka yang menunggu.

Zen, di bawah kotak ini, tertera sebuah alamat. Itu
adalah alamat keberadaanku sekarang. Jika kamu benar-
benar memiliki rasa yang sama denganku, aku ingin kamu
menemuiku, dengan cincin pemberianku yang melingkar di
jari manis kirimu. Temui aku di hari di mana Centaur
Archer bernama Thirteen lahir.

Namun, jika kamu tidak memiliki rasa yang sama denganku,
kamu boleh mengabaikan surat ini, dan membuang seluruh
yang telah kuberikan kepadamu.

Satu lagi!

Kamu baru boleh melepaskan pita putih yang membalut
diary itu, kalau nanti kamu telah tiba di alamat yang
kumaksudkan.

Tertanda,
Yang teramat sangat mencintaimu

Kevin Julisman
Samarinda,
30 November

• • •
TIGA hari setelah membaca surat itu, Zenna pun
memutuskan untuk mengiyakan permintaan Kevin. Ia tak
ingin berlama-lama menerka-nerka apa yang ada di dalam
kepalanya.

Seluruh barang telah rapi dikemas, pesawat pun sudah siap
lepas landas. Dengan keyakinan yang telah sepenuhnya
bulat, mengantarkan kepergian Zenna menyusul Kevin.
Keputusan Zenna itu bukan untuk sekadar mencari tahu
apa yang selama ini menjadi tanda tanya besar baginya,
melainkan; ia juga memiliki rasa yang sama dengan Kevin.

• • •

DUA hari lamanya Zenna telah berada di kota yang sama
dengan Kevin. Dan kini, penampilan Zenna terlihat sangat
rapi. Berdiri di depan hotel, seraya menunggu kedatangan
taksi. Tak lama Zenna menunggu, taksi pun tiba.
Sepanjang perjalanan menuju tempat yang dimaksudkan
Kevin, Zenna hanya berdiam diri. Melamun menatap ke luar
jendela. Sesekali ia tatap kotak pemberian Kevin itu,
sembari membolak-balikannya.

Setibanya Zenna di tempat yang dimaksudkan, spontan,
pikirannya menjadi kacau, dadanya terasa menyusut,
jantungnya berdetak cepat sekali. Butir keringat kecil
satu per satu lahir dari wajah cantiknya. Langkah kakinya
terasa amat berat ketika telah melewati gerbang masuk.
Semakin Zenna menjauh dari gerbang masuk, apa yang ia
rasakan semakin jadi.

Hingga sampailah ia di sebuah tempat; di mana apa yang
ada di hadapannya, membuat kedua kakinya tak kuasa
menopang tegaknya. Detak jantung seolah dipaksa
berdegub lebih cepat dari sebelumnya. Nafas berduyun-
duyun keluar masuk. Mata yang tadinya hanya berkaca-
kaca, kini menuai air mata.

“Aku masih belum mengerti apa maksud dari semua ini,
Vin,” ucap Zenna, dengan nada bergetar.

“APA MAKSUD DARI SEMUA INI, VIN?! APAAA?!” ketus
Zenna. Emosi dalam diri Zenna hilang kendali. Air mata
jatuh lebih banyak lagi.

“Vin, jawab, Vin.. jawab..,” ucap Zenna, dengan suara
pelan dan nada bergetar, sembari mengusap sebuah batu
nisan di hadapannya, menggunakan tangan kirinya.

Sementara tangan kanannya, mengurai tumpukan rupa-
rupa kembang yang masih segar, yang tertumpuk tumpang
tindih di atas tanah menggunung berwarna cokelat yang
sedikit lebih pekat dari warna tanah sekitarnya. Nisan
yang mana telah terukir nama Kevin, dengan jelas.
Sesak pun telah menjadi isak. Segala prasangka kini
berubah menjadi air mata. Hanya menangis yang dapat
Zenna lakukan. Meski ia tahu, dengan menangis, atau
berteriak sekali pun, tak akan mampu membalikkan
keadaan.

“Kevin sangat mencintaimu, Zen,” ucap seseorang, yang
berdiri di belakang Zenna. Zenna pun kaget. Ia seperti
mengenali suara itu. Masih dengan pipi yang dibasahi air
mata, Zenna membalikkan badannya.

“Tante……,” ucap Zenna, dengan ringkih.

“Tak usah memanggil Tante, panggil saja Ibu,” ucap
seseorang, yang tak lain adalah Ibunya Kevin.

“…ng, Baiklah, Bu,” balas Zenna. Ibu Kevin pun perlahan
mendekati Zenna, dan berjongkok tepat di sebelahnya.

“Apa kamu memakai cincin pemberian Kevin itu, Zen?
tanya sang Ibu, membuka perbincangan. Zenna hanya
membalas dengan sebuah anggukan kecil.

“Beruntungnya kamu dicintai oleh Kevin, Zen,” lanjut
sang Ibu. Zenna hanya terlihat diam. Sesekali ia tersedak
oleh isak tangisnya itu.

“Kevin sempat cerita pada Ibu, bahwa banyak perempuan
yang mencoba menarik perhatiannya, tapi ia tidak
menghiraukannya. Karena yang ia mau cuma kamu, Zen.
Cuma kamu.. Ia selalu bertanya-tanya pada Ibu, kapan
waktu yang tepat untuk ia nembak kamu. Ibu tak bisa
memberikannya kepastian. Ibu hanya berpesan padanya,
bahwa; waktu tak akan menunggu mereka yang menunggu.

Kevin telah lama terkena penyakit kanker. Tepatnya, kalau
tidak salah, setelah satu bulan ia mengenalmu. Makin hari,
penyakitnya makin parah. Ia dibawa kemari karena untuk
penanganan lebih lanjut. Meski ia telah tahu, ia tak
memiliki cukup banyak waktu untuk tetap hidup. Dokter pun
membenarkannya.

Ia merahasiakan ini padamu, karena ia tak ingin
membuatmu merasa terbebani. Ia tak ingin membebani
seseorang yang sangat ia cintai. Cukuplah keluarga dan
dirinya sendiri yang ia bebani.

Ibu masih ingat; ia pernah bercerita pada Ibu, bahwa ia
akan menggunakan sisa hidupnya untuk mencintai seorang
wanita. Dan, wanita itu adalah kamu, Zenna..

Sepertinya, Kevin sudah tahu pasti kapan ia akan dipanggil
Sang Ilahi. Itulah sebab ia merencanakan semua ini. Ia pun
memberi tahu Ibu atas apa yang telah ia rencanakan itu.
Itu mengapa Ibu bisa hadir di sini.

Ternyata benar, seperti apa yang pernah dikatakan Kevin
beberapa waktu yang lalu, bahwa kamu adalah sorang
perempuan yang cerdas. Itu terbukti dari mampunya kamu
mengartikan maksud dari kalimat ‘…hari di mana Centaur
Archer bernama Thirteen lahir,’ yang tertera dalam surat
pemberian Kevin. Lalu, isi diary itu, adalah cerita yang ia
tulis setiap sebelum tidur, tentang apa-apa saja yang
telah kalian lakukan bersama. Tak sedikit pula ia
menuliskan tentang isi hatinya di situ. Nanti kamu akan
tahu sendiri, setelah kamu membacanya.

Dari kejadian ini, Ibu harap kamu mempelajari banyak hal,
Zen. Tidak selalu, sesuatu yang dipendam berlama-lama itu
baik. Memendam sesuatu berlama-lama itu; seperti
merakit sendiri sebuah bow waktu, yang sewaktu-waktu
dapat meledak, dan menghancurkan diri sendiri. Di sisi lain,
kesempatan kedua tak akan selalu ada. Jika saja
kesempatan kedua itu ada, tentu tak akan lebih baik dari
kesempatan pertama. Ingatlah selalu, Zen; waktu tak akan
menunggu mereka yang menunggu,” jelas sang Ibu, lalu
menghela nafas panjang.

Haaahhh……

“Ibu tahu, kamu masih ingin berlama di sini. Baiklah, Ibu
akan menunggu di mobil saja. Nanti kita pulang serempak,
ya,” tutup sang Ibu, lalu beranjak meninggalkan Zenna.

• • •

MASIH seperti tadi, isak tangis Zenna belum juga
berhenti. Air matanya berlomba-lomba untuk jatuh.

“Kenapa kamu tidak bilang kalau kamu punya penyakit
kanker, Vin.. kenapa?” pekik Zenna, dari dalam hati. Ia
peluk dengan erat nisan Kevin itu, merebahkan kepala di
atasnya, dan menangis seraya melontarkan pertanyaan-
pertanyaan di dalam hatinya. Seolah-olah ia sedang
menghakimi dirinya sendiri.

Lama ia lakukan hal itu. Tanpa sadar, petang akan segera
menghilang, dan gulita telah siap untuk datang. Zenna pun
membuka kotak pemberian Kevin, mengambil sebuah buku
diary yang terbalut dengan pita putih, lalu melepaskannya,
membuka, dan membacanya. Ternyata benar apa yang telah
dikatakan Ibu tadi; diary itu berisi apa-apa saja yang
telah dilakukan Kevin bersama Zenna. Zenna juga menemui
bermacam-macam kegalauan Kevin tentang bagaimana ia
akan menyatakan cintanya pada Zenna. Spontan, Zenna
seperti tertampar setelah membaca tulisan yang ditulis
oleh Kevin untuk terakhir kalinya;

Zen,
Akhirnya, malam ini, aku telah berani untuk menyampaikan
kepadamu, mengenai apa yang selama ini aku pendam. Iya,
tentang perasaanku terhadapmu.
Aku puh tahu, kamu tidak akan langsung menjawabnya.
Melainkan, butuh diyakinkan terlebih dulu.

Zen,
Ketahuilah; cinta itu tidak perlu diyakinkan, sebab; cinta
itu sendiri yang akan meyakinkan dirinya, juga yang akan
meyakinkan kita. Kamu bukannya tak yakin terhadap cinta,

Zen, kamu hanya ragu atas apa yang akan kamu jalani
nantinya. Barangkali, kamu masih takut untuk patah hati
kembali. Saat sebelumnya; oleh seseorang sebelum aku,
hatimu telah dipatahkan berulang kali.

Zen,
Tak perlu menunggu hingga hatimu benar-benar kembali
utuh, untuk memulai cerita baru denganku. Sebab,
hatikulah yang akan mengutuhkan hatimu.
Lagipula, waktu tak akan menunggu mereka yang
menunggu.

Tertanda,
Yang diutuhkan olehmu
Kevin Julisman
Samarinda,
29 November

Seperti tak kuasa sebab diserang rasa bersalah yang
bertubi-tubi, tiba-tiba, Zenna menggesekkan jari
telunjuk kanannya di batu nisan Kevin yang kasar, hingga
berdarah. Pada beberapa baris yang tersisa di bawah
tulisan terakhir Kevin tadi, Zenna menuliskan jawaban
yang ditunggu-tunggu oleh Kevin, dengan darah dari jari
telunjuk kanannya itu;

Aku menerimamu
Jkt
5 Des

Tak berapa lama kemudian, Zenna memutuskan untuk
meninggalkan makam Kevin. Ia tak ingin berlama-lama
diserang rasa bersalah. Dan, sebelum Zenna benar-benar
pergi, ia mendekatkan wajahnya pada batu nisan Kevin,
lalu memejam, seraya berbisik;

“Selamat ulang tahun, Vin. I love you.”

Note: Centaur Archer bernama Thirteen, memiliki arti:
Centaur dalam Mitologi Yunani Kuno, adalah manusia
setengah kuda (berwujud manusia dari kepala sampai
pinggang, dan bagian pinggang ke bawah berwujud kuda).
Sementara Archer, adalah bahasa Inggris dari Pemanah.
Secara keseluruhan, Centaur Archer adalah pemanah
bertubuh manusia setengah kuda. Di sisi lain, pemanah
bertubuh manusia setengah kuda adalah ilustrasi dari
simbol zodiak Sagittarius. Di sini, yang dimaksud dari
Thirteen, adalah urutan. Thirteen adalah bahasa Inggris
dari tigabelas, sedangkan zodiak Sagittarius dimulai dari
tanggal 23 November. Maka, urutan ke-13 dimulai dari
tanggal 23 November, adalah tanggal 5 Desember.
Dengan kata lain, Kevin meminta Zenna menemuinya di hari
ulang tahunnya.

see you the next hello good bye season 2


Tidak ada komentar:

Posting Komentar