Sabtu, 23 Juli 2016

Jangan jadikan aku istrimu

JANGAN jadikan aku istrimu, jika nanti dengan alasan bosan kamu berpaling pada perempuan lain.

Kamu harus tahu meski bosan mendengar suara dengkurmu, melihatmu begitu pulas. Wajah laki-laki lain yang terlihat begitu sempurnapun tak mengalihkan pandanganku dari wajah lelahmu setelah bekerja seharian.

Jangan jadikan aku istrimu, jika nanti kamu enggan hanya untuk mengganti popok anakmu ketika dia terbangun tengah malam. Sedang selama sembilan bulan aku harus selalu membawanya di perutku, membuat badanku pegal dan tak lagi bisa tidur sesukaku.

Jangan jadikan aku istrimu, jika nanti kita tidak bisa berbagi baik suka dan sedih dan kamu lebih memilih teman perempuanmu untuk bercerita. Kamu harus tahu meski begitu banyak teman yang siap menampung curahan hatiku, padamu aku hanya ingin berbagi. Dan aku bukan hanya teman yang tidak bisa diajak bercerita sebagai seorang sahabat.

Jangan jadikan aku istrimu, jika nanti dengan alasan sudah tidak ada kecocokan kamu memutuskan menjatuhkan talak padaku. Kamu tahu betul, kita memang berbeda dan bukan persamaan yang menyatukan kita tapi komitmen bersama.

Jangan jadikan aku istrimu, jika nanti kamu memilih tamparan dan pukulan untuk memperingatkan kesalahanku. Sedang aku tidak tuli dan masih bisa mendengar kata-katamu yang lembut tapi berwibawa

Jangan pilih aku sebagai istrimu, jika nanti setelah seharian bekerja kamu tidak segera pulang dan memilih bertemu teman-temanmu. Sedang seharian aku sudah begitu lelah dengan cucian dan setrikaan yang menumpuk dan aku tidak sempat bahkan untuk menyisir rambutku.

Anak dan rumah bukan hanya kewajibanku, karena kamu menikahiku bukan untuk jadi pembantu tapi pendamping hidupmu. Dan jika boleh memilih, aku akan memilih mencari uang dan kamu di rumah saja sehingga kamu akan tahu bagaimana rasanya.

Jangan pilih aku sebagai istrimu, jika nanti kamu lebih sering di kantor dan berkutat dengan pekerjaanmu bahkan di hari minggu daripada meluangkan waktu bersama keluarga. Aku memilihmu bukan karena aku tahu aku akan hidup nyaman dengan segala fasilitas yang bisa kamu persembahkan untukku.

Jumat, 22 Juli 2016

Sebuah janji

Ada sebuah janji yang tidak dapat lagi ditepati, karena kita memilih pergi.

Seseorang itu yang memisahkan diri, berpisah haluan, mengucapkan selamat tinggal karena sudah menemukan kebahagiaan yang lain.

Dan seseorang ini yang tersakiti, terlalu menyayangi, tidak dapat menerima dengan realita yang penuh luka lalu memilih untuk mengasingkan diri.

Aku tahu bahwa perpisahan selalu menyakitkan. Tapi tidak ada yang bisa menghalangi kedatangannya, tidak ada yang tahu kapan ia tiba dan tidak ada yang menginginkannya.

Kalau boleh, aku mau tetap tinggal. Kalau boleh, aku tidak ingin menyakiti siapapun. Kalau boleh, aku ingin terus bersama. Kalau boleh, aku tidak mau ada sebuah perpisahan.

Karena perpisahan itu menjauhkan. Semanis apapun, sebaik apapun caranya, perpisahan hanya akan mengasingkan kita. Lalu untuk apa bertemu, jika akhirnya berpisah?

Jika kamu memilih pergi, maka pergilah dan jangan kembali. Untuk berdamai dengan kenyataan dan mengalah dengan realita, sungguh aku perlu waktu. Tapi setidaknya aku telah berani membiarkan kamu pergi, merelakan agar hati tidak luka lagi.

Mungkin dengan perpisahan ini, ada pertemuan lain yang sedang disiapkan. Tidak apa, karena segalanya sudah dikendalikan oleh Pencipta.

Berbahagialah; dengan yang bukan lagi aku. Jika kamu telah menemukan orang yang tepat, aku berdoa agar tidak ada sebuah perpisahan, karena sungguh ia menyakitkan.

It's okay to walk out of someone’s life if you don’t feel like you belong in it anymore. Aku pergi. Aku akan segera menyembuhkan hati. Aku akan menemukan bahagia aku sendiri. Selamat tinggal (di hati yang lain).

Ini bukan isi hati sebagai salam perpisahan agar terlihat sempurna. Tapi sungguh, aku cuma ingin kita bahagia dengan cerita kehidupan baru.

Selasa, 05 Juli 2016

Rasanya, tidak mudah. . .

Bagaimana rasanya menjadi seseorang yang ingin lupa? Bagaimana rasanya menghapus rasa agar tak menjadi luka?
Apakah itu tak menyakitkan? Apakah itu tak menyiksa?

Aku kadang bertanya pada langit, mengapa langit begitu tega melihatku terluka seperti ini? Apakah ada jawaban dibalik rasa yang sedikit membuatku hidup tak seperti biasanya?

Dan, langit hanya diam seolah-olah tak peduli dengan jeritan hatiku saat ini. Lalu, awanpun tiba-tiba berubah dan membuat yang ada disekitarku seketika menjadi sedikit gelap. "Hujan akan tiba" ucap seseorang tepat berada dihadapanku yang sedang menunggu sama seperti diriku.

Hujanpun tiba, semua orang yang tadinya berjalan dengan santai di jalanan setapak yang biasa aku lalui kini mereka berlari tuk menghindarinya. "Allahumma shoyyiban nafi'an" do'a ku didalam hati. Lalu aku tertunduk entah aku sedih karena terbawa suasana ataukah aku hanya merasa bosan.

Tanah yang basah? Aku memandangi tanah yang basah. Tanah yang tak pernah bosan dan mengeluh bagaimana hujan bisa jatuh tepat diatasnya. Apakah tanah di bumi diciptakan untuk seperti itu? Yang selalu ikhlas ditimpa oleh segala sesuatu diatasnya? Lalu hujan, apakah hujan selalu ikhlas jatuh dari langit tanpa mengeluh dan merasa bosan?

Sejenak aku berfikir, jika tanah dan hujan adalah ciptaan Allah maka manusia juga adalah ciptaanNya bukan? Mengapa aku tak bisa se"ikhlas" tanah dan hujan yang hari ini aku saksikan tepat di hadapanku?

Aku kembali memandangi langit yang kini membuat suasana penduduk dibumi sedikit berubah, mungkin itulah jawaban dari langit untuk diriku yang tadinya hanya terdiam melihat ku mengeluh dan terus mengeluh. Dan langit yang juga menjadi bukti kuasaNya untuk para hambaNya yang dimana langit selalu ikhlas berada diatas sana bersama awan, matahari, bintang dan bulan.

Mungkin, yang aku butuhkan hanya sebuah ke"ikhlas"an, tak kurang dan tak lebih hanya ikhlas melepaskan apa yang pantas ditinggalkan. Agar tak menjadi suatu hal yang dapat membuat hidup terasa berada diambang kegagalan. Bangkit dan kembali tersenyum seperti sedia kala. Selama mata masih bisa memandang alam diluar sana, jika tidak? Mungkin kesempatanku telah habis karena aku telah mati.

Apakah kau lupa?

Mungkin engkau sudah lupa.
Dengan siapa engkau berbagi suka dan duka? Dengan siapa engkau bercerita tentang apa yang ada pada dirimu? Apakah aku egois jika menjawab itu adalah AKU?

Mungkin engkau sudah lupa.
Siapa yang selalu mengingatkanmu hal-hal yang baik bagimu? Siapa yang selalu ada tuk menghiburmu disaat engkau tak merasa begitu baik? Siapa yang selalu ingin melihatmu bahagia walau hatinya kadang harus terluka? Apakah aku seperti tak ikhlas melakukan itu semua jika menjawab itu adalah AKU?

Mungkin engkau sudah lupa.
AKU? Iya, aku yang pernah menjadikanmu nomor satu didalam hatiku. Aku yang pernah rela menangis hanya untuk melihatmu bahagia. Aku yang pernah memberikan apa yang ada pada diriku agar kau dapat nyaman untuk bersamaku.

Hingga, aku memasuki duniamu. Mengenal siapa temanmu dan siapa keluargamu. Menjadikan mereka kepunyaanmu menjadi kepunyaanku juga. Semuanya menyenangkan bagiku. Semuanya menjadi indah untukku.

Namun, itu hanya sepintas dan kini telah hancur bersama waktu tuk menjadi kenangan. Ada suatu hal yang harus aku luruskan, aku berubah. Kau menyukainya? Senang? Harusnya seperti itu. Tapi, dugaanku berbanding dengan ekspektasiku. Sama saja, kau menganggap aku telah menghilang. Bahkan tak ada sedikitpun pertanyaan walau hanya sekedar menanyakan kabarku saat ini.

Kini, aku hanya bisa melihatmu tersenyum dari apa yang aku lihat tiap kau mengunggah gambar dirimu ataukah bersama teman, keluarga, bahkan dia yang kini selalu ada untukmu. Kadang aku harus memejamkan kedua mataku sejenak. Karena, senyuman itu bukan lagi diriku yang menciptakannya.

Apakah dahulu hanya aku yang berlebihan? Hanya aku yang keterlaluan? Hanya aku yang terbawa oleh perasaan? Apalah arti dari semua perhatian itu? Berkat itulah, aku tak ingin lagi memiliki rasa yang belum pasti bagaimana akhirnya. Cukup aku diam, cukup aku bersabar, cukup aku menunggu, cukup aku menyerahkan, dan cukup aku mengikhlaskan semua hanya kepadaNya.

Sabtu, 02 Juli 2016

Kupikir selamanya, ternyata sementara.

Dari teduh berganti jenuh. Aku termakan manisnya kata, sampai lupa makna di baliknya.

S e l a m a n y a .

Mana mungkin aku lupa dengan janji yang terasa pasti. Ternyata, janji yang kau suapkan hanya umpan untuk menyenangkan hati. Apa namanya janji jika kau tak mampu menepati nya ? Apa namanya ‘kita’ jika ujungnya hanya aku yang berjuang ? Makanlah kata selamanya. Dan terima kasih sudah menyadarkan betapa bodohnya aku yang mempercayai kamu.

Silakanlah tertawa, setidaknya kini aku sudah sadar dan tidak lagi terbang dengan janji untuk bersama.

Silakanlah mengadu pada perempuan-perempuan itu, tunggulah waktu karma menghampiri kau nanti. 'Selamanya’, hanya kata; tidak bekerja pada makna sebenarnya.

Dalam hubungan apa pun, “selamanya” berarti sekuatnya.

Ya, sekuat apa kita bertahan. Sekuat apa kita mengiyakan kepura-puraan, bahwa cara menyayangi seseorang sudah tidak seiring sejalan lagi. Dan, sekuat apa kita saling menjaga percaya bukan menjaga janji untuk menyenangkan hati.

Aku pernah berharap kita menjadi selamanya,
hakikatnya kita sekadar sementara. - Rika Fathir

Untuk si penghuni hati yang masih menjadi rahasianya Tuhan,

Janganlah memastikan kita akan selalu bersama, pastikan saaja hati kita masih dipenuhi rasa percaya. Hati lebih mengerti cara menggandakan bahagia. Kita cukup menjalani tanpa terlalu banyak berandai-andai. Aku tidak ingin selamanya percaya dengan kata-katanya, lebih baik memformulakan maknanya.

Over? Not yet!