Sabtu, 02 Juli 2016

Kupikir selamanya, ternyata sementara.

Dari teduh berganti jenuh. Aku termakan manisnya kata, sampai lupa makna di baliknya.

S e l a m a n y a .

Mana mungkin aku lupa dengan janji yang terasa pasti. Ternyata, janji yang kau suapkan hanya umpan untuk menyenangkan hati. Apa namanya janji jika kau tak mampu menepati nya ? Apa namanya ‘kita’ jika ujungnya hanya aku yang berjuang ? Makanlah kata selamanya. Dan terima kasih sudah menyadarkan betapa bodohnya aku yang mempercayai kamu.

Silakanlah tertawa, setidaknya kini aku sudah sadar dan tidak lagi terbang dengan janji untuk bersama.

Silakanlah mengadu pada perempuan-perempuan itu, tunggulah waktu karma menghampiri kau nanti. 'Selamanya’, hanya kata; tidak bekerja pada makna sebenarnya.

Dalam hubungan apa pun, “selamanya” berarti sekuatnya.

Ya, sekuat apa kita bertahan. Sekuat apa kita mengiyakan kepura-puraan, bahwa cara menyayangi seseorang sudah tidak seiring sejalan lagi. Dan, sekuat apa kita saling menjaga percaya bukan menjaga janji untuk menyenangkan hati.

Aku pernah berharap kita menjadi selamanya,
hakikatnya kita sekadar sementara. - Rika Fathir

Untuk si penghuni hati yang masih menjadi rahasianya Tuhan,

Janganlah memastikan kita akan selalu bersama, pastikan saaja hati kita masih dipenuhi rasa percaya. Hati lebih mengerti cara menggandakan bahagia. Kita cukup menjalani tanpa terlalu banyak berandai-andai. Aku tidak ingin selamanya percaya dengan kata-katanya, lebih baik memformulakan maknanya.

Over? Not yet!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar