Kamis, 27 Februari 2014

DENGARKAN AKU DULU

Dengarkan Aku Dulu
Kupahami keinginan pergimu adalah atas apa yang tak
kau temukan dalam diriku. Jauhnya aku dari apa yang
disebut sempurna, lantas membuatmu ingin meneruskan
kembali pencarian selanjutnya. Tentu saja, masih
banyak yang jauh lebih baik dariku di luar sana,
sehingga akan dengan mudah kau temukan apa yang
dalam diriku tak ada.
Sebelum dariku kau benar-benar berlalu, dengarkan
aku dulu;
Kau perlu tahu; banyak di luar sana yang juga
menginginkanku. Tak sedikit di antaranya yang jauh
lebih baik darimu. Namun, aku menutup mataku, dan
lebih memilih bertahan denganmu. Sebab aku
mencintaimu dengan berkeyakinan; tak satu pun
manusia terlahir dengan sempurna. Maka mencintai
seseorang yang sederhana, dengan cara yang
sempurna, adalah level tertinggi dari sempurna.

SURATAN TAKDIR

Suratan Takdir
Kadang, aku bertanya-tanya; apakah aku yang begitu
lambat mengejarmu, atau kau yang terlalu cepat
berlari menjauhiku?
Bukan kali ini saja cintaku tak menuai balas, sampai-
sampai kukira bagimu aku memang tak pantas.
Aku ini pecandu harapan, bahkan pengemis perhatian.
Namun aku tak mampu berbuat lebih, karena hadirku
bagimu hanya sebatas pelarian.
Hadirku baru kau anggap ada;
Saat oleh yang lain kau diabaikan,
Saat tak ada satupun yang padamu mempedulikan,
Saat yang kau sebut teman tak mampu meringankan apa
yang kau tanggung sebagai beban,
Saat yang padamu menjanjikan untuk selalu ada,
namun yang kau temui adalah aku sebagai yang pertama
kali ada.
Aku memang paling agresif dalam hal mencintai,
terlebih itu terhadap seseorang yang ingin sekali
kumiliki.
Namun harapanku untuk memilikimu tak berjalan
selaras dengan kenyataan. Atau memang Tuhan belum
memberi izin untuk menjadikan itu kenyataan.
Semoga nanti ada waktu yang Tuhan persiapkan, untuk
kau dan aku dipersatukan. Di mana yang dirasa adalah
kebahagiaan. Tentu juga akan ada kesedihan, namun
tak berarti diakhiri dengan perpisahan.
Sekarang, pergi ke mana kau mau, dengan siapa yang
kau pilih selain aku.
Kejar tujuanmu, biar dari sini doaku menjagamu.
Demi segala air mata yang jatuh saat menulis ini,
semoga kelak terganti dengan tawa tanpa henti.
Nanti, ketika padaku kau kembali sebagai apa yang
dapat kumiliki.

Hello Good Bye II

“INI, Mas, kembaliannya,” ucap seorang penjaga kasir
di sebuah toko buku.

“Hmmmmm,” gerutu seorang pengunjung, sembari
menyodorkan telapak tangan kanannya. Sementara
tangan kirinya, memegang sebuah buku; di mana empat
jari berada di punggung buku, dan jari jempolnya berada
di tengah-tengah buku sebagai sekat agar halamannya
tetap terbuka. Keningnya sesekali mengerut, kedua
matanya menyipit, dengan bola mata bergerak dari kiri
ke kanan secara terus-terusan. Seorang pria itu begitu
khusyuk membaca buku yang tengah terbuka di hadapan
wajahnya.

PLAAAKKK!

Tiba-tiba, seorang perempuan menghentakkan sebuah
buku di atas meja kasir, sehingga membuat kaget pria
yang tengah khusyuk membaca itu.

“Kembalikan buku itu!” ucap si perempuan.

“Eh? Buku apa?” balas sang pria, seraya
menyembunyikan buku yang dimaksud oleh perempuan
itu, di balik badannya.

“Itu, buku yang tadi kamu pegang! Cepat kembalikan!”
“Tidak mau!”
“Berengsek kamu, ya!” ketus sang perempuan, lalu
dengan gegas menginjak kaki kiri pria itu, dengan
sangat kuat.

“Aduuuhhh!!!!!!” pekik sang pria, lantas spontan
mengangkat kaki kirinya, dan memeganginya dengan
kedua tangan. Buku yang tadi disembunyikannya pun
jatuh. Langsung saja dengan cepat sang perempuan itu
memungutnya.

“Rasakan!” tambah sang perempuan, dengan ketus.
Perempuan itu pun bergegas mengambil buku yang ia
hentakkan di atas meja kasir tadi, lalu pergi
meninggalkan toko buku.

“Lucu, ya, waktu itu,” ucap Zenna.

“Hihihi, iya. Betapa sebuah kebetulan yang lucu,” balas
Rega.

“…tapi, Ga, kamu tahu, tidak? Dari pertemuan kita
beberapa waktu yang lalu itu, mungkin, kamu dan aku
menganggapnya sebagai sebuah kebetulan, di sisi lain,
kebetulan itu adalah apa yang telah direncanakan
Tuhan,” jelas Zenna, lalu tersenyum.

“Iya, aku pun memahaminya. Hidup itu, bisa diibaratkan
sebuah film. Kita aktornya, sementara Tuhan,
adalah script writer -nya. Bukan begitu?” tambah Rega.

Zenna membalas pernyataan Rega barusan hanya dengan
sebuah anggukkan dan senyuman.

“Eh, Zen, kita pulang, yuk! Langit sudah mulai gelap.
Besok kita kemari lagi,”
“Iya, ayuk! “
Rega dan Zenna pun pergi meninggalkan dermaga yang
mereka jadikan tempat menghabiskan waktu bersama,
kala langit sore sedang merah-merahnya.

• • •

Kurang lebih, sudah satu tahun lamanya kamu pergi.
Tidak terasa, ya.
Belakangan ini, aku sedang dekat dengan seseorang.
Rega, namanya. Kami dipertemukan beberapa waktu
yang lalu di sebuah toko buku. Kejadiannya cukup lucu.
Kala itu, Ketika aku sedang di meja kasir untuk
membayar buku yang kubeli, aku sempat meletakkan
buku diary ini di atas meja. Lalu setelah membayar buku
yang kubeli, aku lupa memasukkan kembali buku diary ini
ke dalam tas, dan pergi begitu saja meninggalkannya di
atas meja kasir. Rupanya, Rega yang menemukan buku
diary ini. Meski, waktu itu, ia sempat membacanya. Dan
juga, aku mengambilnya kembali dengan sedikit
paksaan. Aku memang ceroboh. Tapi, ya, mau bagaimana
lagi. Sepertinya, sudah menjadi sebuah kebiasaan
bagiku membawa buku diary ini ke mana pun aku pergi.
Hmm, Vin,
Semenjak kehadiran Rega, aku tidak lagi merasa sepi.
Ia selalu menemani hari-hariku. Iya, seperti yang kamu
lakukan dulu.
Entah akan lebih baik di setersunya, atau malah
sebaliknya. Aku pun tak tahu. Biarlah sang waktu yang
akan menjawab.
Sudah dulu, ya. Aku mengantuk. Aku mau tidur. Daaa..
Tertanda,
Yang merindukanmu
Zenna Adinda Kurniasari

Samarinda.
2 januari.

Hoooaaammm..
Uapan Zenna tampak seolah-olah ia sangat lelah. Ia pun
bergegas tidur, setelah tadi, seperti biasa setiap
sebelum ia tidur; ia menulis di diary pemberian Kevin
satu tahun lalu.

• • •

C’KREK!
“Lihat, deh, burungnya lucu, ya,” ucap Rega, sembari
memperlihatkan foto seekor burung yang baru saja
dipotretnya.
“Iya,” balas Zenna, dengan singkat.
“Eh, Ga, kenapa kamu suka memotret?” tanya Zenna.
“Hmm, kenapa, ya? Barangkali, sederhananya, seperti
ini..,” ucap Rega, menggantung, lalu membaguskan
posisi duduknya.
“Kita tidak bisa mengulang waktu, bukan? Dengan
memotret, aku bisa dengan sesuka hati membekukan
waktu, mengabadikan sesuatu, dan nantinya, bisa aku
lihat dalam bentuk matinya. Karena yang dilihat mampu
hilang, sementara yang dicatat mampu dikenang. Aku
mencatat sesuatu menggunakan ini..,” jelas Rega,
seraya mengangkat sebuah kamera DLSR yang talinya
melingkar di lengan kanannya.
“Wah, iya, ya,” ucap Zenna, sambil mengangguk.
“Nah, terus, yang kamu gambar itu, apa?” tanya Rega,
dengan kepala yang menjinjit, melihat sesuatu yang
digambar Zenna di buku diarynya.
“Oh, ini.. Aku menyebutnya Sempiternal,” jawab Zenna,
sembari menyodorkan Rega subuah gambar lingkaran
besar, dan di dalamnya dipenuhi dengan lingkaran-
lingkaran kecil.
“Sempiternal? Apa itu?” Rega kembali bertanya.
“Sempiternal itu, sesuatu yang tidak berujung,” jawab
Zenna.
“Sesuatu yang tidak berujung? Contohnya?”
“Entahlah. Aku pun tidak tahu pasti.”
“Hmm..,” Rega menggumam, sambil menggaruk
kepalanya.
“Perkara apa pun itu, sejatinya tidak memiliki ujung.
Contohnya saja, kebahagiaan. Lingkaran yang besar itu
adalah apa yang dinamakan kebahagiaan, sementara
lingkaran-lingkaran kecil di dalamnya adalah berbagai
macam kebahagiaan yang entah bagaimana itu
bentuknya. Suatu kebahagiaan itu tidak benar-benar
berhenti. Hanya beranjak dari kebahagiaan satu, ke
kebahagiaan lainnya. Semua itu hanya perkara waktu.
Lagipula, hidup itu tentang kejadian yang acak,
bukan?” jelas Zenna, dengan panjang lebar, lalu
tersenyum.
“Iya, kamu benar, Zen. Hidup adalah tentang kejadian
yang acak. Kita hanya tahu kalau kita menemukan
sebuah kebahagiaan, tanpa tahu di mana Tuhan
meletakkan kebahagiaan itu. Bisa saja, Tuhan
menyelipkan kebahagiaan itu di antara dua kesedihan.
Dan, berlaku juga untuk sebaliknya. Begitulah.. Semua
hanya perkara waktu. Tapi, kalau aku pikir-pikir, hidup
ini tidak ada habisnya kalau dipikir,” ucap Rega, sambil
mengusap-usap dagunya dengan tangan kirinya.
“Kenapa dipikir-pikir, mending sekarang kita makan
saja, yuk! Aku lapar,” ajak Zenna.
“Eh? Boleh, boleh..,” balas Rega.
Lalu, mereka berdua pun pergi meninggalkan dermaga.

• • •

DI sebuah tempat makan yang baru dibuka beberapa
minggu yang lalu, terlihat Rega dan Zenna telah selesai
menyantap hidangannya.
“Makanannya enak juga, ya. Pantas saja
pengunjungnya ramai begini. Padahal, tempat makan ini
baru saja dibuka beberapa minggu yang lalu,” ucap
Rega. Zenna tak menanggapi perkataan Rega barusan.
Ia hanya diam. Seperti ada yang salah dengan Zenna.
“Kamu kenapa, Zen? Kok, tidak terlihat seperti
biasanya?” tanya Rega, menyadari ada yang salah
dengan Zenna.
“Menurutmu, kehilangan itu apa, Ga?” Zenna berbalik
bertanya.
“Eh, kenapa bertanya seperti itu?”
“Jawab saja,”
“Hmm, kehilangan itu, bisa sesederhan merasa sepi di
tengah keramaian,” jawab Rega.
“Oh, begitu.”
“Memangnya, kenapa?”
“Jawabanmu tadi adalah jawaban atas pertanyaan
pertamamu,” bilang Zenna. Rega membalasnya hanya
dengan sebuah helaan nafas panjang.
“Sudahlah, Zen.. Kan, sekarang sudah ada aku,” ucap
Rega, dengan tersenyum. Rega mencoba menghibur
Zenna, seraya mencairkan suasana.
“Hmm, Ga, apa kamu pernah merasakan kehilangan?”
kembali Zenna bertanya.
“Pernah, kok,”
“Kehilangan seperti apa itu?”
“Aku kehilangan seseorang yang sangat aku cintai, di
saat aku sedang sangat cinta-cintanya,” jawab Rega.
“Namanya Aurel. Kami sudah berpacaran selama tiga
tahun. Entah kenapa dan oleh sebab apa, waktu itu, ia
memutuskan untuk mengakhiri hubungan yang sudah
susah payah kami bangun. Ia mengambil keputusan
secara sepihak, dengan seenaknya saja,” tambah Rega.
Zenna membalasnya hanya dengan sebuah anggukan
kecil, seraya menggembungkan kedua pipinya.
“Eh, eh, eh! Kenapa kita jadi membahas ini, sih?” ketus
Rega.
“Cari topik yang lain saja, ah,” tambahnya.
“Efek makanan yang enak, kali,” jawab Zenna, lalu
tertawa.
“Eh, ini jam berapa? Temani aku ke rumah sakit, yuk!
Aku mau menebus obat Sonia, teman satu kontrakanku,”
ajak Zenna.
“Ng? Boleh, boleh..,” tutup Rega.

• • •

REGA terlihat berdiri di depan mobilnya. Ia hanya
menunggu di area parkir rumah sakit, tidak ikut masuk
bersama Zenna. Tak berapa lama menunggu, Zenna pun
keluar, menenteng obat yang terbungkus dengan
sangkek putih.
“Sudah, nih. Yuk, kita pulang!” bilang Zenna.
“Yuk!” balas Rega. Tiba-tiba, ketika Rega melangkah
mendekati pintu mobil, ia menabrak seorang perempuan.
Beberapa obat-obatan pun terjatuh di antara mereka
berdua. Rega menunduk, bermaksud memungut obat-
obatan tersebut. Dan ketika ia berdiri kembali, ia
sangat kaget melihat sosok seorang perempuan yang
sedang berdiri di hadapannya. Kedua mata Rega
melotot, menodong mata perempuan itu. Bibirnya
bergerak, namun tidak berbicara. Entah apa yang
membuat kata-kata menjadi tertahan di mulutnya. Di
sisi lain, raut wajah sang perempuan terlihat cemas.
Tak berapa lama kemudian, sang perempuan itu
bergegas pergi meninggalkan Rega.
“Ada apa, Ga?” tanya Zenna, setelah Rega masuk ke
dalam mobil.
“Hmm, tidak ada apa-apa, kok,” ucap Rega, seraya
meletakkan obat-obatan yang ia pungut tadi di bagian
depan dekat kaca mobil. Melihat obat-obatan yang baru
saja diletakkan Rega itu, mendadak, raut wajah Zenna
berubah. Yang tadinya biasa-biasa saja, kini berubah
menjadi bingung keheranan.
“Obat apa itu, Ga?” tanya Zenna, mencoba mencari tahu
jawaban dari rasa penasarannya.
“Oh, ini.. Tadi obat ini terjatuh setelah aku menabrak
seseorang. Paling, ya, cuma vitamin biasa,” jawab
Rega, lalu menjalankan mobilnya.
“Bukan.. Obat itu pasti bukan sekadar vitamin biasa,”
gumam Zenna dalam hati, seraya menyipitkan matanya
menatap obat-obatan itu.
“Pasti ada yang sedang Rega sembunyikan dariku,”
kembali Zenna bergumam dalam hati. Kali ini, mata
tajamnya menyorot ke arah Rega.

• • •

“AKU pulang, ya,” ucap Rega pada Zenna yang berdiri di
depan pintu rumah kontrakannya, dari dalam mobil.
“Iya, hati-hati, ya. Thanks buat hari ini,” balas Zenna,
lalu tersenyum. Rega pun membalas juga dengan sebuah
senyuman. Setelah berpamitan, lalu Rega bergegas
pulang.
Rega tak benar-benar langsung pulang, melainkan
menuju ke rumah seseorang.
Sesampainya Rega di sana, terlihat seorang perempuang
kebingungan mencari sesuatu di dalam mobilnya.
Sesekali ia rogoh isi tasnya.
“Kamu mencari ini, kan, Aurel?” ucap Rega. Seorang
perempuan bernama Aurel yang tak lain adalah mantan
pacar Rega itu pun kaget, melihat Rega telah berdiri di
depan mobilnya, sambil mengangkat sesuatu dengan
tangan kanannya. Sesuatu itu adalah obat-obatan, yang
sedari tadi dicari oleh Aurel. Dengan gegas, Aurel keluar
dari mobil.
“Kenapa obat itu bisa ada di kamu?” tanya Aurel.
“Kamu menjatuhkannya sewaktu kita bertabrakan
tadi,” jawab Rega.
“Kembalikan obat itu!”
“Aku tidak akan mengembalikan obat ini, sebelum kamu
menjawab pertanyaanku!”
“Tanyakan saja pertanyaanmu itu!”
“Kenapa kamu pergi?” tanya Rega, dengan sedikit
menarik urat lehernya.
“Kenapa kamu diam, Aurel? Jawab pertanyaanku!”
bentak Rega, setelah pertanyaan pertamanya tadi
hanya dijawab dengan diam oleh Aurel.
“Jawab perta……”
“Kamu tidak mengerti, Rega! Kamu tidak mengerti!”
timpa Aurel, dengan nada sedikit keras.
“Apa maksud kamu?” kembali Rega bertanya.
“Obat yang kamu pegang itu adalah jawabanya,” jawab
Aurel. Rega pun menatap tajam ke arah obat-obatan
yang masih terbungkus rapi di genggamannya itu. Satu
per satu tanda tanya mulai muncul di dalam kepala Rega.
“Aku tidak mengerti maksudmu,” ucap Rega. Tiba-tiba,
Aurel menjambak rambutnya sendiri.
“Kamu lihat ini, Rega! Lihat ini!” ketus Aurel. Spontan,
tanda tanya yang ada di dalam kepala Rega tadi menjadi
berantakan tak karuan. Keningnya mengerut, mulutnya
menganga, dadanya kembang-kempis, sekujur tubuhnya
bergetar. Keringat dingin pun membasahi kening dan
kuduknya. Ekspresi wajah Rega seakan-akan tak
percaya setelah melihat Aurel menarik rambutnya
sendiri, yang tak lain adalah wig (rambut palsu).
“Ka..kkk..ka..kam..mu……,” ucap Rega, dengan nada
bergetar.
“Bagaimana kamu mau mencintai seorang perempuan
yang tidak memiliki rambut lagi?! Bagaimana kamu mau
mencintai seorang perempuan yang hidupnya sudah tidak
lama lagi?! …yang sudah tahu kapan ia akan mati?!
Hah?!” bentak Aurel. Mata Aurel terlihat berkaca-kaca.
“Aku memang tidak pernah ingin menyakitimu, tapi
keadaan memaksanya!” Aurel menambahkan, dengan pipi
yang telah terbasahi oleh air mata.
“Aku meninggalkanmu, bukanlah seutuhnya keinginanku!
Aku hanya tak ingin membebani seseorang yang sangat
aku sayang!” jelas Aurel, dengan mata yang
mengeluarkan air lebih banyak lagi.
Karena kenyataan yang menampar Rega begitu sakit,
semua yang dibendung Rega di kelopak matanya sedari
tadi pun tumpah. Sekujur tubuh yang bergetar membuat
kedua kaki Rega tak mampu lagi menopang tegaknya.
BRUUUK!!!
Rega roboh.
“…Aurel……,” gerutu Rega, dengan nada bergetar, dan
air mata yang berlomba-lomba untuk jatuh. Tak jauh
dari situ, Aurel terlihat menangis dengan mendekap
kedua tekukan kakinya.

• • •

SEMENJAK kejadian malam itu, kedekatan Rega dengan
Zenna jadi mengendur. Wajar saja, Rega lebih banyak
menghabiskan waktunya menemani Aurel. Di sisi lain,
Zenna menyadari perubahan Rega. Dan, kesedihan yang
tadinya Zenna pikir telah seutuhnya hilang, kini kembali
datang.
Kian waktu berjalan, sesuatu yang ditutup-tutupi
dengan segala cara, pada waktunya, akan terbongkar
juga dengan segala cara.
Zenna pun mengetahui jika Rega sedang dekat dengan
seorang perempuan. Zenna tidak tahu bahwa perempuan
itu adalah Aurel. Yang Zenna tahu, Rega sedang dekat
dengan perempuan lain. Tak lain halnya dengan Zenna.
Aurel juga tahu bahwa Rega telah lama dekat dengan
Zenna.

• • •

“GA, kamu di mana? Bisa kita bertemu sekarang? Di
tempat biasa?” tanya Zenna, melalui telepon.
“Bisa, bisa!” jawab Rega.
“Ya sudah. Cepat, ya. Aku tunggu,” tutup Zenna.
Tak berapa lama kemudian, Rega pun datang menemui
Zenna.
“Hei! Sudah lama menuggu?” sapa Rega.
“Eh? Tidak, kok,” balas Zenna.
“Kamu habis dari mana?” tanya Zenna.
“Dari rumah sakit.”
“Ada apa?”
“Ah, tidak ada apa-apa, kok.”
“Lantas, yang kamu bawa itu, apa?” tanya Zenna,
penasaran melihat sangkek putih berisi obat-obatan
yang dibawa Rega.
“Oh, ini.. Ini cuma vitamin biasa,” jawab Rega.
Mendengar jawaban Rega barusan, ekspresi wajah
Zenna mendadak berubah.
“…ng, Ga.. Kalau semisalkan aku terkena penyakit
kanker, apa yang akan kamu lakukan?” tanya Zenna,
dengan tiba-tiba.
“Eh? Kenapa bertanya seperti itu?” Rega berbalik
bertanya.
“Jawab saja.”
“Kalau kamu terkena penyakit kanker, aku akan
berusaha semaksimal mungkin untuk selalu ada di
dekatmu. Menjaga kamu, menghibur kamu, mengusir
sepi dan sedih yang mendatangimu. Membuatmu
tertawa, bahagia, dan menganggap bahwa kanker
adalah hal yang biasa-biasa saja,” jawab Rega, lalu
tersenyum pada Zenna.
“Oh, begitu..,” balas Zenna. Mendengar perkataan
Rega barusan, Zenna seperti menemui titik putih dari
sesuatu yang abu-abu di pikirannya. Sekarang Zenna
mengerti, kenapa Rega sulit meluangkan waktu
untuknya akhir-akhir ini.
“Kamu harus memilih, Ga,” ucap Zenna, dengan tiba-
tiba.
“Apa maksud kamu?” tanya Rega, keheranan.
“Sudah, jangan kamu tutup-tutupi lagi. Aku sudah tahu
semuanya,” tambah Zenna.
“Siapa yang sakit?” tanya Zenna.
“Maksud kamu apa, sih, Zen?” Rega menodong Zenna
dengan wajah yang dibingung-bingungkan, demi
menutupi apa yang sebenarnya terjadi.
“Obat itu.. Obat itu bukan vitamin, kan? Itu obat
kanker, kan? Itu obat yang sama seperti obat yang
selalu diminum Kevin,” jelas Zenna. Tiba-tiba..
Drrrttt.. drrrttt.. drrrttt..
Ponsel Rega bergetar. Sebuah telpon masuk menunda
perbincangan serius Rega dan Zenna.
“Iya, halo?” sapa Rega, pada seseorang di ujung
telepon.
“Hah?! Apa?! B..bbb..baiklah!” ucap Rega, dengan raut
wajah cemas.
“Dari pihak rumah sakit, kan?” tanya Zenna, dengan
spontan.
“Aurel.. Aurel yang sakit,” balas Rega.
“Ia menjauhiku karena ia tak mau membebaniku karena
penyakit kankernya,” jelas Rega.
“…dan sekarang kondisinya sedang keritis,” tambah
Rega.
“Pergilah..,” ucap Zenna.
“T..tt..ta…..”
“Rivaldy Rega Syahputra.. Kamu tidak bisa mencintai
dua hati di waktu yang bersamaan. Karena tidak ada
satu pun manusia yang adil dalam hal membagi. Kamu
harus memilih..,” tambah Zenna. Tiba-tiba, mata Zenna
berkaca-kaca.

“Aku tidak mau memilih, Zenna!” ketus Rega.

“Terkadang hidup memang begitu, Rega. Terkadang,
kita dipaksa memilih pilihan yang sama sekali tidak
pernah kita pikirkan, ataupun kita inginkan,” ucap
Zenna, dengan air mata yang mulai menetesi pipinya.

“…bukannya, hidup itu tentang kejadian yang acak?”
tambah Zenna, mencoba meyakinkan Rega. Lalu, Zenna
perlahan mendekati Rega. Ia tempelkan kedua telapak
tangannya pada pipi Rega. Mengangkat kepala Rega
yang menunduk. Sejenak Zenna tersenyum, lalu
memejamkan mata, dan mengecup bibir Rega.

“Pergilah.. Waktu tak akan menunggu mereka yang
menunggu,” ucap Zenna, lalu berdiri, seraya tersenyum
dengan air yang masih menetes dari matanya. Tak lama
kemudian, Rega pun ikut berdiri, lantas berucap pada
Zenna;

“Kamu tahu, apa sesuatu yang Sempiternal itu? …
sesuatu yang tidak memiliki ujung? Itu adalah waktu.
Semua hanya perkara waktu. Kian waktu berlalu, kita
akan beranjak dari kejadian satu, ke kejadian lainnya.
Dari sekian acak kejadian yang dihadirkan oleh waktu,
kita bisa belajar banyak hal. Mulai dari akan ada tawa
setelah air mata, akan berdiri kembali setelah jatuh,
sakit demi sakit akan menuai sembuh, yang rapuh akan
dikembalikan utuh, pun yang patah akan kembali tumbuh.
Semua hanya perkara waktu.., ” jelas Rega, dengan
panjang lebar. Lalu perlahan, Rega pergi meninggalkan
Zenna. Sementara Zenna, masih berdiri di tempatnya
tadi.

“Kita beranjak dari kehilangan satu, ke kehilangan
lainnya. Begitu juga dari pertemuan satu, ke pertemuan
lainnya. Barangkali, yang dimaksud acak, adalah;
pertemuan yang terselip di antara kehilangan satu ke
kehilangan lainnya, atau kehilangan yang terselip di
antara pertemuan satu ke pertemuan lainnya. Because
Hello, is another Goodbye. And a Goodbye, will bring us to
another Hello,” gumam Zenna, dalam hati. Air dari mata
Zenna tak berjeda untuk jatuh, mengiringi langkah
kepergian Rega yang semakin menjauh. Sosok seseorang
yang tadinya dihadirkan oleh waktu, perlahan
disamarkan, lalu dihilangkan juga oleh waktu.

“Ya, semua hanya perkara waktu,” sekali lagi, Zenna
bergumam dalam hati. Kali ini, Rega benar-benar sudah
tidak tampak lagi.

-End:)

APAKAH KAMU MASIH YANG DULU AKU KENAL?

Aku menatap wanita yang kucintai itu dengan tatapan
bersalah. Sebenarnya aku juga tidak tahu siapa yang salah,
aku yang salah atau dia yang salah. Rasanya memang tak ada
yang membuat kesalahan, tapi aku merasa ada sesuatu yang
salah di antara kita. Dia wanita yang sungguh berbeda. Wanita
yang tidak lagi kukenal. Aku kehilangan cara untuk
menghadapi segala macam tindakannya.
“Aku enggak mau makan di situ, mahal.”
“Aku yang bayarin!” ucap kekasihku sambil menarik
dompetnya dari tas, “Kita makan di sana aja ya, enak kok,
banyak gizinya, supaya kamu gendutan dikit. Kalau kurus kan
enggak enak dipeluk.”
“Kamu yang bayarin?”
“ Well , kenapa?”
“Emangnya kita enggak bisa makan dipinggiran jalan
aja? Yang lebih enak, lebih murah juga.”
“Enggak ah, makan di sana berdebu, banyak asap
kendaraan bermotor. Aku mau makan di restoran aja.”
“Aku enggak mau.”
“Kenapa? Emangnya salah kalau aku memberikan yang
terbaik untuk pacarku sendiri? Kalau makan di pinggir jalan
nanti kamu sakit. Kamu kan enggak tahu bahan campuran dari
makanan itu bersih atau enggak.”
“Restoran itu mahal, Sayang. Aku enggak bisa
bayarin kamu makan di sana!”
Wanitaku terdiam sesaat, ia hanya menatapku dengan
tatapan bersalah, “Memangnya salah kalau aku bayarin
kamu?”
“Enggak ada yang salah, cuma terlalu sering. Aku kan
cowok, kewajibanku adalah membayar kebutuhanmu.”
“Siapa yang bikin peraturan kayak gitu? Gender
banget. Cewek enggak boleh bayarin cowok?”
“Itu bukan peraturan, Sayang. Itu seperti kodrat,
sebuah keharusan.”
“Kita cuma mau makan, bukan mau ngurusin
kewajiban dan hak. Ribet banget sih kamu!”
“Kamu itu pacar aku, harusnya kamu mau aku atur.”
“Oh, gitu, mentang-mentang aku cewek, lantas kamu
berhak mengatur aku?”
“Bukan, maksud aku, kapan kamu memberi aku
kesempatan menjadi laki-laki seutuhnya? Yang bisa melindungi
kamu dan memenuhi kebutuhanmu?”
“Aku bukan wanita manja yang butuh lelaki sebagai
penutup kelemahan. Aku bisa menutupi kelemahanku sendiri.”
“Itulah, Sayang, yang seringkali aku benci dari sikap
kamu. Sombong.”
“Aku yang bayarin kamu segalanya! Karena apa?
Karena aku tahu, kamu enggak mampu melayani yang aku mau.
Ini bukan soal hak dan kewajiban, Sayang. Ini soal keinginan
untuk berbagi.”
“Egois!”
“Terserahlah. Aku capek berdebat berulang-ulang
kayak gini.”
“Mau kamu apa?”
“Aku mau pulang, aku balik sama supirku aja. Aku
males naik motor sama kamu. Panas! Bau! Pusing! Repot kalau
banyak wartawan tahu kalau aku naik motor sama kamu!”
Aku menghela napas, “Pulanglah, aku cuma enggak
mau bikin kamu kehujanan dan kepanasan gara-gara naik
motor sama aku.”
Ia hanya menggeleng-gelengkan kepalanya, raut
wajahnya seakan tak memercayai bahwa pernyataan sekejam
itu bisa terlontar dari bibirku. Kekasihku melengos pergi, aku
tak mampu lagi menahannya untuk tetap tinggal. Ia terlalu
mandiri, terlalu kuat, dan terlalu mudah meninggikan dirinya.
Aku yang kecil hanya bisa menerima, menetap dia dari jauh,
tapi tetap mencintainya.
Ketika punggungnya terlihat menghilang, aku berpikir
dengan gelisah. Apakah wanita mandiri tak lagi membutuhkan
sosok pria di sampingnya?

****

Langit-langit rumahnya masih sama. Putih. Bersih.
Kosong. Ia punya pembantu untuk mengantarkan minum
untukku, tapi ia selalu berpendapat bahwa aku harus dilayani
oleh kekasihku sendiri—dia.
“Kamu naik motor?” percakapan awal yang tak begitu
kuharapkan, pertanyaan seperti ini harusnya tak ditanyakan
lagi.
“Iya, kenapa?”
“Di luar kan panas, kenapa enggak minta jemput sama
supirku aja?”
“Aku cuma ke rumahmu, bukan ke kawah Gunung
Merapi.”
“Jayus ah!” senyum kecil tergambar di sudut bibirnya,
senyum yang akhirnya bisa kunikmati dengan bebas.
“Akhirnya kita bisa ngobrol sedekat ini.” aku
menggeser posisi dudukku lebih dekat dengannya, ia mengerti
keinginanku; ia segera bersandar di dadaku.
“Maaf untuk kejadian kemarin, mungkin aku terlalu
lelah dan enggak bisa memahami keinginan kamu.” wanitaku
berbicara dengan nada menyesal, aku bisa rasakan
penyesalannya.
“Aku yang salah, harusnya aku sadar dan paham, kamu
enggak bisa makan sembarangan.”
“Bukannya aku gak bisa makan sembarangan, aku
lebih memikirkan pola makanmu.”
“Iya, makasih.” tuturku tegas sambil mengenggam
jemarinya, “Aku juga paham, kamu bukan wanita yang seperti
dulu. Yang sederhana, yang mudah kuajak ke mana-mana.
Kamu sibuk dengan pekerjaanmu.”
“Ini mimpi aku, salah kalau aku mengejarnya? Salah
kalau aku akhirnya berhasil dan bisa menghasilkan banyak
materi?”
“Bukan itu yang salah, kamu berbeda. Berbeda!”
Ia menghela napas, meremas-remas tempurung
kepalanya, “Aku enggak mau berdebat. Aku sudah cukup lelah
dengan pekerjaanku, dengan jadwal syuting di banyak tempat.
Kita cuma punya waktu sedikit untuk bersama, jangan rusak
segalanya dengan egomu.”
“Aku membicarakan kenyataan, kamu berubah. Kamu
udah enggak mau kuajak makan dipinggir jalan, udah enggak
mau aku bayarin. Sekarang, kamu yang mengatur segalanya.”
Dia kembali menegakkan posisinya, tak lagi bersandar
di dadaku. “Aku enggak berubah, kamu yang belum terbiasa
dengan aku yang sekarang.”
“Kalau kamu ingin aku jujur, aku lebih menginginkan
kamu yang dulu.”
“Segalanya udah berbeda, Sayang. Jarum jam tidak
mungkin bisa diputar ke kiri.”
“Apa kita enggak bisa kayak dulu lagi? Jalan-jalan
bareng ke tempat yang ramai tapi tetap bisa ngobrol bareng
kamu.”
Kekasihku menggeleng mantap, “Banyak mata
mengawasi aku.”
“Aku belum siap dengan ketenaran kamu.”
“Aku juga belum siap, tapi kalau aku beranggapan
belum siap maka aku tak akan pernah siap.”
“Apa dalam ketenaranmu, kamu masih membutuhkan
aku?”
“Aku masih sangat butuh sapaan selamat pagi darimu,
juga ucapan selamat tidur dari kamu. Aku masih wanitamu
yang dulu.”
Senyumku mengembang, aku menarik dia dalam
pelukku. Rapat sekali.
Mungkin kekasihku benar, aku hanya belum siap pada
perubahannya yang sekarang. Soal perasaan, wanita tak
pernah salah.
Semandiri apapun wanita, ia tetap membutuhkan sosok
pria tangguh di sampingnya.

END!

Selasa, 25 Februari 2014

Aku memperjuangkan yang tidak memperjuangkanku (part1)

"Sayang, selamat pagi. Have a nice day yah :)"
Kurang lebih seperi itu isi pesan singkat yang setiap pagi tak
pernah absen aku kirimkan. Yang selalu kau bilang sapaan
selamat pagi dengan doa sederhana namun tulus dan juga
sedikit senyum dalam pesan singkat dari ku di setiap pagi itu
lah yang mampu membuatmu tersenyum dan semangat
menjalani hari ini. Kata-kata itu selalu ku ingat sayang,
bahkan sampai saat ini, saat kalimat itu mungkin sudah tidak
lagi berarti apa-apa bagimu, yang belakangan ini membuatku
takut, takut untuk melihat handphone dan menerima pesan
singkat darimu.
Aku memang bodoh dan lemah. Aku hanya bisa mengungkapkan
perasaan ini melalui tulisan dan juga gambar-gambar yang aku
buat. Aku tidak sekuat dirimu dalam menunjukkan perasaan
yang sedang kamu rasa. Ya kamu memang hebat. Kamu, lelaki
gentelman yang benar-benar membuatku gila.. Gila karena
terlalu menyayangi dan mencintaimu namun tak mampu
menunjukkannya seperti dirimu, seperti yang kamu mau.
Tapi yang harus kamu ketahui adalah kamulah sumber tulisan
ini, tulisan yang kamu bilang tulisan galau, dan julukan yang
melekat padaku, si tukang galau itu adalah cerita tentang
kamu, tentang kita. Kamulah sumber segala gambar yang aku
buat, gambar anime yang sering kamu puji bagus dan keren itu
aku buat saat aku memikirkan kamu, memikirkan tentang kita.
Apa kamu tahu semua itu? Ah, sudahlah itu tidak penting
bagimu, yang kamu mau adalah tindakan dari perasaanku yang
kamu pun tahu aku sulit melakukannya.
Hari ini, entah apa yang ku rasa, aku sangat merindukanmu,
aku merindukan kehadiran sosok dirimu yang dahulu selalu
membuatku bahagia. Aneh mungkin karena kita tidak
melakukan hubungan jarak jauh (LDR) dan kita juga tidak
berada dikota yang berbeda namun mengapa kali ini rasa itu
hadir dan begitu dalam ku rasakan? Apakah aku sudah gila?
Atau mungkin aku sudah kehilangan sosok dirimu yang dahulu?
Dirimu yang biasanya selalu membuatku nyaman dan bahagia
sudah jauh dari sisiku. Aku tidak tahu mengapa kamu pergi
menjauh dari aku dan kenangan kita? Apa salahku? Aku tidak
sedang terserang penyakit menular yang harus membuatmu
jaga jarak dan tidak berbicara padaku untuk sekedar bertukar
kabar walaupun itu lewat pesan singkat atau telepon.
Andai saja kau tahu, segala tweet dan status ku di media
sosial adalah ungkapan kegalauan hatiku yang aku
sembunyikan rapat-rapat karena aku tak dapat
menunjukkannya padamu, aku tak mampu. Segalanya tentang
kamu, Andai saja kamu tahu, aku selalu memperjuangkanmu,
seseorang yang tak pernah memperjuangkanku. Yang sudah
menyerah dengan segala kelemahanku, yang tidak bisa
mencintai kelemahanku layaknya aku mencintaimu. Aku
memperjuangkan yang tidak memperjuangkanku.
Ingin rasanya kembali ke masalalu, ketika masih ada kamu.
Ketika aku masih bisa tersenyum saat bangun pagi hingga
tidur malamku, saat kamu masih menganggapku lebih dari
teman, saat ungkapan rindumu masih sering ku dengar dari
bibir eksotismu, saat kehadiranmu bagai aktor utama drama
yang ku tunggu-tunggu kemunculannya. Aku masih saja sering
memperhatikan nomor handphonemu, menimbang-nimbang
ditengah ketakutanku apakah aku harus mengirim pesan
terlebih dahulu atau aku saja yang menunggumu? Ah.. Tapi
kamu terlalu sibuk, bahkan hanya untuk sekedar sms apalagi
menanyakan kabarku..
Setelah ku putar ulang lagi rekaman otakku yang berisi
tentangmu, aku mencoba untuk kembali mengingat perlakuan
lembut dan juga kasarmu. Aku mencoba mengingat
kesabaranmu saat menghadapiku, aku mereka-reka kembali
ucapanmu saat menenangkan amarahku, aku mencoba
mengintip kembali usaha-usaha yang kau lakukan agar
hubungan kita tidak berjalan ditempat. Bayanganmu
berputar-putar diotakku, suaramu terdengar menusuk-nusuk
telingaku. Aku benar-benar kecanduan masalalu. Aku semakin
sadar bahwa tidak ada seorangpun yang bisa membuatku
merasa berarti dan luar biasa selain kamu. Aku semakin yakin
bahwa kamu adalah seseorang yang berusaha memperbaiki
kesalahanku agar aku menjadi seseorang yang baru. Kamu
menerimaku lalu menjaga perasaanku.
To be continued...

Minggu, 23 Februari 2014

DIMANA LETAK SURGA?

"SURGA BERADA DIBAWAH TELAPAK KAKI IBU”

Ingatannya hanya melayang pada kalimat yang digoreskan oleh kapur putih di bagian atas papan tulis hijau. Kasogi hitam dengan size 29 menjadi alas kedua kakinya yang terbungkus kaos kaki putih setengah lutut. Matanya memandang kerikil-kerikil kecil diatas jalanan beraspal yang sudah mulai rusak. Segala pertanyaan lahir tak dapat diungkap lewat bibir kecilnya, namun tertanam dalam otak besarnya.

*

“Nik, besok ninik aja ya yang ambil raportku” lelaki kecil bercelana pendek dengan kaos naruto berdiri tepat dibelakang seorang wanita yang sedang mengiris potongan-potongan bawang

“Bukannya ninik nda mau yo, tapi ibumu juga ingin ngeliat sekolahmu, ketemu guru-gurumu. Dia juga pengen tau, nakal ga kamu di sekolah” jawabnya sambil memasukan irisan-irisan tersebut kedalam wadah suatu wajan.

“Tapi aku kan ga nakal nik disekolah. Aku janji deh, kalo besok ninik mau ambilin rapot aku ntar aku makan ini yang banyak” tangan kecilnya mengangkat wortel mentah yang lebih panjang dua kali lipat dari jarinya.

“Ya Ampun yo…, emang apa masalahnya kalau ibumu yang ambil? Apa bedanya sama ninik?”

“Beda nik. Kalo Ibu yang ambil, aryo bakalan diledekin temen-temen terus nanti disekolah!”

Wanita berusia 58 itu akhirnya menghentikan segala kegiatannya sejenak.
“Aryo, kamu tidak seharusnya malu dengan keadaan Ibumu. Ibumu itu adalah perempuan hebat, justru seharusnya kamu bangga padanya nak”

“POKOKNYA KALO IBU YANG AMBIL RAPOT, ARYO GA AKAN MAU SEKOLAH LAGI!!”
sekarang bocah kecil itu berlari setelah memberikan alasan yang menurut pikirannya sangat kuat dan tak terbantahkan. Hatinya memekik, dan ternyata ledakannya terdengar oleh sosok wanita disudut ruangan yang hatinya terkoyak-koyak.

“Sudahlah bu, biar ibu saja yang mengambil rapot Aryo besok. Saya mengerti ko”

*

Suara yang melantunkan lafaz-lafaz suci Al-quran berkumandang dari bangunan tempat biasa umat muslim bersembahyang. Seorang pria cilik berbalut sarung mencari sandal jepitnya yang berwarna biru, kerutan terlukis dari dahinya. Sesekali jemari mungil itu menggaruk-garuk kepala sehingga peci putih yang membungkus setengah kepalanya hampir meluncur turun.

“Sedang mencari apa Aryo?”
“Sendalku di curi orang pak Ustaaadzz” jawabnya gusar, sarung otak-kotak biru yang melintasi bahu kirinya dipegang kuat-kuat.

“Loh, itu bukannya sendalmu?” pria 55 tahun ini menunjuk sepasang sandal yang tertimbun sandal-sendal lain yang berserakan. Namun torehan spidol biru berlafaz “ARYO” mengukuhkan kalau sandal swallow biru mungil itu adalah milik bocah kecil yang sedang menggerutu.

“Eh iya…, hehehe. Tadi aku ga liat Pak Usradz” jawabnya cecengesan, deretan gigi putih yang masih bercampur dengan gigi susu pun hadir setelah pintu bibir mungilnya terbuka lebar.

“Sebelum membuat suatu prasangka pada orang lain, cobalah untuk melihat ke dalam diri sendiri. Jangan sampai kelalaian yang tidak kita sadari justru berbuah pikiran buruk untuk orang lain.”

Anak itu terdiam…memikirkan kembali perkataan yang baru saja menggema di telinganya. Dan saat dia kembali dari perenungannya selama beberapa detik, sosok pria berbaju koko putih tampak sudah berjalan beberapa langkah didepannya.

“Pak Ustaaaaadd…..Pak Ustaaaaaaadd…..sebentar…”
Aryo menggerakan kakinya lebih cepat dengan setengah berteriak.

“Ada apalagi nak?”

“Engga Pak Ustad, aku mau nanya satuuu lagi. Boleh kan pak Ustad?” katanya setengah merajuk sambul mengacungkan telunjuk

“Hahaha…, tentu boleh nak. Apa yang ingin kau tanyakan?”

“Apa benar Surga itu ada di telapak kaki Ibu?”

Lelaki tua bersarung kotak-kotak itu kini menurunkan posisi badannya agar sejajar dengan ustad kecil di hadapannya.

“Nak, saat seorang sahabat Rasul bertanya : Siapakah orang yang harus aku cintai di dunia ini? Rosulpun menjawab : Yang pertama adalah ibumu” dan laki-laki itu menghentikan sejenak kalimatnya.

“Lalu yang kedua siapa lagi Pak Ustad?” bocah ini nampak tak sabar dengan jawaban pria yang mengajarnya mengaji di setiah hari Jum’at malam.

“Ibumu”

“Ibu? Lalu yang ketiga?”

“Masih Ibumu nak”

Anak itu terdiam menunduk. Membayangkan wanita yang melahirkannya. Dia merasa tidak mengenal dengan baik sosok itu. Belum hilang dari ingatannya dimana dia tumbuh hingga usia 9 tahun tanpa melihat seorang Ibu. Manusia yang teramat dia damba namun ternyata kedatangannya justru membuat ia menjadi bahan olokan anak-anak sebayanya.

Sepasang tangan kini memegang pundaknya..” nah, yang ke empat…baru Ayahmu. Maka jangan pernah ragu akan keberadaan surga pada Ibumu nak”
Laki-laki tua itupun berlalu menginggalkannya. Meninggalkan sisa pertanyaan yang belum sempat terlontar dari bibirnya yang masih menganga…

*

“Sudah pulang nak?”

“Sudah bu”

“Lg apa di dapur nak?”

“Lagi buat roti pake meses”

“Sini nak, ibu buatin” wanita berdaster batik menghampirinya

“Ga usah bu, aryo bisa sendiri”

“Udaah.., ibu bisa ko buatin roti meses yang enak” tangannya mengambil pisau roti dari genggaman bocah cilik itu

“Ga usah buuuuu” Aryo spontan mengambil kembali pisau roti dari tangan sang ibu. Sikunya tanpa sengaja menggeser kotak besar yang berisi roti tawar, kaleng meses, mentega, dan selai-selai lainya..

PRAAAAAAAANNNGGGG

Beberapa selai yang berbalut kaca pecah berserakan di lantai, pecahannya mungkin tidak melukai tubuh keduanya, namun menggores hati wanita yang bertumpu diatas kursi roda. Melihat buah hatinya berlalu dari hadapannya. Hatinya menjerit seakan merasa tak berguna.

Pria kecil itu pun berlari kedalam kamar. Membenamkan wajahnya pada sebuah bantal yang disirami air mata. Segala rasanya berkecamuk, antara benci diselingi kewajiban untuk mencintai sosok yang tidak dia kagumi…

SURGA BERADA DIBAWAH TELAPAK KAKI IBU

Namun bagaimana jika sang Ibu tidak memiliki sepasang kaki?
Masih adakah Surga pada dirinya?

Batinnya memekik, sesungguhnya dia sungguh menyesal telah berbuat kasar kepada wanita yang mengandungnya selama 9 bulan, dimana kini perempuan itu menumpukan pergerakannya, diatas sebuah kursi roda..…

*

“Assalamualaikum”
“Wa’alaikum salam” sahut penghuni dari dalam rumah

Ruang tamu itu mungkin tidak mewah, namun sepasang sofa berwarna hijau tua saking bersandingan di padu sebuah kursi kayu tunggal yang mengitari meja pendek berisi minuman berwarna, kue-kue kecil dan gorengan.
Nampaknya usaha toko kue yang dibangun dari hasil tabungan kedua pasang mantan Pegawai Negri yang kini telah pension itu cukup untuk menampung seorang anak perempuan, juga cucu satu-satunya pemilik rumah itu.

“Baru pulang nak?” sang ibu bertanya disambut dengan tatapan bingung putranya yang mendapati seorang laki-laki berkacamata diruang tamu. Pembicaraan antara laki-laki tersebut, ibu dan juga niniknya terlihat serius. Maka bocah itu memutuskan untuk segera berlalu masuk ke dalam kamar

“Iya bu, tapi udah janjian main bola sama temen-temen” dan setelah bocah itu melepas topi merah bertuliskan tut wuri handayani serta berganti kaos superman yang dibelikan sang ninik di pasar minggu, celana pendek, bola kini dirangkulnya. Dan tentu dia harus melewati kembali ruangan yang sedang menerima tamu tak dikenal itu.

“Permisi semuanya, aryo main bola ya”

“Aryoo…., kemari sebentar nak” wanita berusia 35 tahun ini memanggil dan lelaki kecil itupun menghampirinya

“Kenalin pak, ini Aryo putra saya. Dialah sumber kekuatan saya”
Bocah berponi dengan tubuh tidak gemuk tapi juga tidak kurus itu mencium tangan tamu yang dia rasa sangat asing itu. Sebenarnya hatinya sedikit tergetar mendengar kata perkenalan yang dilontarkan sang ibu.

“Bu, aryo udah boleh pergi? Temen-temen semua nunggu diluar bu”

“Iya nak, hati-hati ya” jawabnya tersenyum

*

Kaki mungilnya terlihat lincah menggiring bola. Kemampuannya bermain memang tidak diragukan dan oleh karena itu teman-temannya selalu berbisik setiap penentuan team dijalankan.

“nanti kamu putih 2 kali, item 3 kali ya” bisik salah satu bocah

“Ya ayo…HOMPIMPA ALAIUM GAMBREEENNGG”

“yeaaaayyy, aryo masuk team kitaaa”
Itu mungkin contoh benih kecurangan yang tumbuh saat dini, kesalahan terletak dibanyaknya tercipta pupuk yang sangat luar biasa untuk mengembang biakannya.

“Sampe besok ya temen-temen!!!” seperti biasa, aryo kecil pulang setelah kakinya memasukan bola kedalam gawang sebanyak beberapa kali. Saat dia bersiap pulang, sosok laki-laki berkacamata dengan kaos berkerah dan celana jeans yang sempat mencicipi pisang goreng buatan neneknya tadi di rumah tampak menunggu di bibir lapangan.

Aryo kecil terus berjalan acuh seolah-olah dia tidak menyadari keberadaan laki-laki itu.

“ARYOO…”
Saat namanya disebut, pria berusia 11 tahun ini sadar kalau dia tidak lagi dapat bersikap “kura-kura dalam perahu, pura-pura tidak tahu”. Sehingga anak berkulit sawo matang dengan daging lebih dibagian pipi itu menoleh. Laki-laki dewasa yang membawa tas ransel berwarna hitampun segera menghampirinya

“Bisa bicara sebentar Aryo?”

*

“Jadi kamu tidak dekat dengan ibumu?”
Bocah itu hanya menggeleng sambil sibuk mengambil cendol-cendol berwarna hijau di dalam gelas transparan

“Apa kamu pernah merindukan ibumu saat dia jauh?”
Sekarang anak ini mengangguk sambil mengunyah minuman khas betawi yang dijadikan “sogokan” agar bocah yang handal bermain bola kaki ini mau diajak berbicara

“Apa yang kamu harapkan dulu saat kau belum bertemu ibu?”

“Aku mengharapkan ibu pulang terus nemenin aku ke sekolah seperti teman-teman yang lain”

“Apa Ibumu pernah datang kesekolahmu?”

“Pernah dulu, udah lama banget tapi om”

“Kamu senang?”
Anak itu menaruh gelas yang sudah kosong dibawah kursi plastic berwarna merah yang didudukinya.

“Engga om, semua temen-temen di sekolah mengejekku. Katanya aku tidak akan masuk surga karena ibuku tidak mempunyai kaki”

“Aryo, kau seharusnya bangga dilahirkan dari rahim wanita sehebat Ibumu” pria yang duduk berhadapan dengan sang bocah meneruskan ceritanya

*

“Apa yang membuat anda memutuskan untuk pergi?”

“Karena saat itu saya menghidupi diri dan anak saya sendirian. Aryo juga sudah mulai membutuhkan susu formula. Saya merasa harus bertanggung jawab setelah keluar dari rumah ini karena Ayah saya merasa saya mencoreng nama besar keluarga dengan hamil diluar nikah. Saya juga harus menghadapi kenyataan kalau kekasih saya saat itu pergi meninggalkan saya tanpa mau bertanggung jawab. Pekerjaan apapun pasti saya jalani selama itu halal. Dari mulai menjadi buruh pabrik hingga kuli cuci semua sudah saya cicipi. Sampai pada akhirnya tetangga saya mengajak untuk mendaftar menjadi pekerja di luar negri. Kami dijanjikan gaji yang besar dan hidup yang layak. Tanpa berpikir panjang, saya tanda tangani surat perjanjiannya. Dengan menitipkan Aryo pada salah satu tetangga yang sudah seperti ibu saya sendiri.”

“Apa yang pertama anda rasakan di sana?”

“Yang pertama saya rasakan rindu sebesar-besarnya pada anak. Tapi saya harap ini semua untuk kebaikannya juga. Tahun pertama saya belum mendapatkan siksaan apapun, sampai saat saya dipindahkan oleh majikan saya ketempat saudaranya. Disanalah saya menghadapi berbagai macam cobaan. Dari mulai jarangnya mendapat makanan, bekerja hampir 24 jam untuk mengurusi kebersihan restoran 24 jam nya. Baru mulailah pukulan-pukulan itu datang saat saya meminta gaji yang menjadi hak saya. Majikan saya tidak segan memukul saya dengan kayu saat mereka mabuk. Biasanya mereka akan memukul tulang kering saya bila saya lambat jika dipanggil. Alhamdulillah aktivis dari Indonesia akhirnya berhasil membawa saya keluar dari Negri Biadab itu, MALAYSIA”

“Bagaimana dengan pemberitaan yang cukup besar saat kepulangan anda?”

“Saya justru sangat berterima kasih kepada media yang akhirnya membuat kedua orangtua saya menerima kehadiran saya dan Aryo kembali. Karena bagaimanapun sebenci apapun antara anak dan orangtua, darah nya tetap mengalir dalam tubuh saya dan begitu pula sebaliknya”

“Apakah anda menyesal menjadi TKW setelah kehilangan anggota tubuh anda?”

“Tidak, saya kehilangan anggota tubuh saya, namun saya mendapatkan kembali utuh anggota keluarga saya”

*

Bocah itu kini menangis, menyadari bagaimanapun gejolak yang ada dalam dirinya, namun tetap darahnya merupakan darah perempuan yang mengayuh roda-roda untuk berjalan. Dia berlari dengan kedua kakinya yang kuat dimana kaki-kaki itu membuat Aryo Sunaryo menjadi bahan rebutan setiap tim untuk mencetak gol.

Debu yang beterbangan dari hentakan-hentakan pelarian tak hiraukannya, seperti dirinya yang tidak menghiraukan lagi tentang keberadaan surga di telapak kaki ibunya. Jari kecilnya membuka pintu kamar..

“IBUUUUUU” dan dia menangis dalam pelukan ibunya. Tempat yang paling nyaman untuk hatinya….

*

“ARYO GA MASUK SURGA….ARYO GA MASUK SURGA!!”
Suara bocah-bocah yang menambah bising suasana jam istirahat sekolah SD Negri itu

“Kalian ko ngomongnya gitu sih!Emang yang masukin orang ke surga kalian?” bela seorang anak berkepang dua

“Ibu nya Aryo kan ga punya kaki, jadi Aryo ga akan masuk Surga. Hahhahahahaha”

“Kalian nanti aku laporin Bu Guru ya!!”

“Udah Chendrawati, diemin aja.” Bocah itu kini tersenyum

“Kalau Surga kalian ada di telapak kaki ibu, maka surgaku adalah nafas ibuku”

**********

Kamis, 06 Februari 2014

KITA BERMASALAH; Egois.

Mungkin sekarang kau mengatakan bahwa semuanya terserah padaku, dan kau tak peduli.
Tapi ketika aku lelah menyampaikan maksudku dan tiba-tiba menghilang darimu, disana jangan kau marah padaku.
Tapi tanyakan pada dirimu.

Aku tak memojokkanmu, hanya saja kau perlu mengerti sedikit saja.
Aku hanya ingin kau berpikir dengan hatimu, bukan emosimu.
Tak hanya kau yang lelah dan emosi, aku juga diposisi yang sama.
Jika bukan karna sang cinta, sudah lama kutinggalkan ini semua.
Tapi aku rasa, kau sedikit pintar untuk memahami mengapa aku masih bertahan.

Memang ada kecemasan dihatiku sekarang, karna aku merasakan bahwa hubungan ini tidak baik-baik saja.
Kita bermasalah, inilah masalah kita: egois.
Lalu bagaimana dengan semua perjanjian cinta kita yang ingin berubah lebih baik?

Sudah lama, ya, aku rasa, kita selalu bertengkar seperti ini. Tapi nampaknya salah satu dari kita tak ada yang kapok.
Apakah harus ada perpisahan dulu, baru ada yang mau berubah, lalu kembali lagi? Bukankah itu terlalu kekanak-kanakan buat kita?

Mungkin ada rindu yang terselip disela ngambek nya aku, dan diamnya aku.

Harusnya kamu memang bisa mengerti dan mengimbangi. Bukan pergi dan mencaaci maki.
Aku tak menuntut banyak padamu, hanya saja  kau mau sedikit bersusah payah membujukku. Itu saja.
Tapi ternyata, kamu tidak!

Kepekaanpun kau tak punya, bagaimana harus aku menahan emosiku agar kau bisa peka.

Kita dan jarak

Kita, dan Jarak Jauh.

Ada kalanya aku tak mampu menahan kecemasanku mengkhawatirkanmu disana.
Berharap bahwa waktu dapat cepat bergulir agar aku dapat dipertemukan denganmu lagi, cepat-cepat.
Ada beberapa prasangka perasaan yang memaksaku untuk mengeluarkan kebodohanku untuk tak sabar ingin menemuimu.
Namun kutahan, kutahan, terus dan terus kutahan.
Aku tau bahwa kita mampu kuat, kita mampu melewati ini walau kadang kerinduan itu tak bisa lagi tersembunyi.
Kecemburuan dan posesifku, aku rasa telah mengganggu kenyamananmu. Namun, aku tak tahu lagi ekspresi apa yang harus kutunjukkan untuk menutupi kesepianku disini.
Kesepian dari pelukan hangatmu yang membuat kenyamanan tiada tara itu.

Tak bisa, memang, kita berbeda kota, berbeda daerah, berbeda tempat, hanya waktu saja yang sama. Walau bagaimanapun, untuk bisa menemuimu adalah hal yang sulit.
Aku harus menunggumu dibandara, itu tak masalah. Masalahnya adalah, tak setiap hari, atau tak setiap minggu, bahkan bulan, kau bisa menemuiku. Bisa saja hanya satu tahun sekali, atau dua kali setahun. Ya, untuk sekarang saja, aku berharap.

Ini tentang waktu, waktu yang ikut merenungkan aku, merenungkan sang pujaan hati yang jauh dari pandangan. Beribu-ribu jauhnya, bermil-mil, sampai dengan meteranpun takkan mampu terukur.
Memang yang hanya bisa mengobati rindu ini hanyalah 'pertemuan".
Namun aku harus bersabar untuk mendapatkannya.

Dalam cinta berjarak yang banyak disebut orang adalah Long Distance Relationshp , banyak sekali konsekuensi yang harus diterima. Mau tak mau, kuat tak kuat, ya itu, harus bisa: rindu, ingin memeluk, ingin bertatap wajah, ingin bercerita, ingin berbagi dan menangis bersama.
Semuanya sudah kuterima, kata "sabar" pun aku rasa sudah habis stok-nya untukku karna telah kuborong semua.

Ini bukan tentang menuntut balas, bukan menghabiskan waktu, ataupun hanya sia-sia belaka.
Ini bukan tentang berpaling karna ada yang lebih.
Ini bukan tentang menyerah begitu saja karna banyak yang menghasut.

Tapi,
Ini adalah tentang bagaimana kita bisa kuat untuk menjalani hubungan yang tak mudah ini.
Ini adalah tentang bagaimana kita berjuang bersama, bukan kamu atau aku sendirian.
Ini adalah tentang kita yang melawan arus jarak yang berlawanan, tentang perbedaan danau, laut, dan daratan.
Ini adalah tentang waktu, ketika kau menatap matahari disiang hari, aku juga tau bagaimana rasa panasnya. Ketika kau menatap bulan dimalam hari, aku juga tau bagaimana nyamannya.
Ini adalah tentang begitu sangat berartinya pesawat telpon bagi kita, sebagai penghantar suaraku dan suaramu dari kejauhan.
Ini adalah tentang begitu berartinya internet, agar mampu menggandengku menatap wajahmu dilayar laptop melalui Video Call.
Ini adalah tentang begitu banyaknya airmata yang tumpah karna kerinduan kita, karna kecemasan kita, dan pertengkaran kita.
Ini adalah tentang kesetiaan dan kejujuran yang sama-sama kita genggam, salah satu harta terbesar kita yang tak bisa kita khianati.
Ini adalah tentang cinta, cinta yang tak terkalahkan dengan begitu banyak asumsi negatif yang masuk, cinta yang tak terkeluhkan walaupun hanya bertemu sekejap saja.
Ini adalah tentang aku, kamu, dan jarak.

RINDU TAK BERTEPI

Berbagai bait kata telah ku tulis disini.
Untukmu yang tersayang, aku merindukanmu. Entah bagaimana kucari jalan untuk menemuimu, namun waktu menolak semuanya. Mereka enggan memberi jalan lurus itu.

Sudah lama ingin kurasakan sentuhanmu.
Aku coba menutup mataku, membayangkan wajahmu, aku masih mengingat bagaimana bentuk wajahmu, bagaimana lekuk senyummu.
Tak sadar, aku menitiikan air mata.
Air mata rindu.

Aku terombang-ambing bak buih dilautan, entah kemana harus mendamparkan diri. Karna aku bingung dengan rindu yang tak tersampaikan.

Aku memang tak bisa merangkai kata-kata yang indah, yang keren, seperti yang lainnya.

Namun yang aku tulis, semua tentang kamu.

Kamu, adalah apa yang selalu aku tulis.
Kamu, adalah apa yang selalu aku curahkan didalam tulisanku, dimanapun.
Kamu, adalah perasaan hebat yang selalu menggerogoti pikiranku.

Entah apa jadinya aku tanpamu, aku takut.
Takut kamu hilang, takut kamu diculik oleh hati yang lain.
Takut kamu direbutkan oleh orang-orang yang berada satu tanah satu daerah satu semesta denganmu.

Kau tak perlu khawatir denganku, aku disini baik-baik saja.
Aku masih menjaga buah hati kita, cinta.
Malah harusnya kecemasanku lah yang kau tanyakan, apakah sekarang sedang membaik atau memburuk?

Entahlah.. Aku selalu tak mengerti ini.
Kau selalu saja bisa membuatku bingung, membuatku cemas. Kamu jahat!:")

Bagaimana jalanku untuk menjaga hatimu yang tak bisa kujangkau isinya?

Sedang mereka saja yang sudah disiapkan Tuhan untuk menguji kita, bisa saja sekejap membuatmu terpukau.

Namun, aku tetap percaya. Kau akan selalu menjaga mata, hati, dan dirimu disana.
Layaknya aku disini selalu menjamin hatiku untukmu.

Aku akan memberikan nafasku, aku akan memberikan jiwaku, jika itu bisa membuatku lebih lama bersamamu.

Aku takkan pernah menghancurkan janji-janji dan mimpi manis kita.
Begitupun denganmu, bukan?:")
Aku selalu percaya dengan kekuatan cinta, cinta bisa merubah apa saja.

Jarak ini, akan kita ubah. Tak lama, sayang. Sebentar lagi, kita akan mampu bersama selamanya.

Menguji kedewasaan kita, bukan melalui telfon dan pesan singkat lagi, tapi melalui sentuhan dan tatapan mata kita.

Kamu percaya, kan, bahwa kita itu adalah cinta yang telah disatukan sampai akhir nanti?
Aku merindukanmu, tak pernah berujung, tak pernah bertepi. Selalu begitu, denganmu.

Sekarang, aku ingin kau mendengar keluh kesahku. Pada Tuhan, pada jarak. Pun pada nasib.

Aku merindukanmu, seperti itulah yang terbayang dipikiranku. Jika kau membaca mataku, akan ada tulisan 'I Miss You'.
Jika kau mendengar bisikku, akan ada kata yang aku ucapkan, 'Aku rindu, sayang'.

Bisakah kau meyakinkanku bahwa selamanya hatimu milikku?
Karna hatiku, sudah menjadi milikmu. Sejak dulu

JANGAN BIARKAN EMOSI MEMERINTAH KITA

Aku tak tahu bagaimana perilakumu disana.
Aku bukan Tuhan yang mengetahui segalanya.
Kau berbohongpun, aku tak tahu.
Aku tak tahu kemana saja kakimu melangkah.
Aku tak tahu kemana saja tanganmu mengirim pesan-pesan singkat.
Aku tak tahu kemana saja matamu melirik.
Aku tak tahu kemana saja bibirmu berucap.
Dan aku lebih tak tahu kemana hatimu berlabuh selain ketempatku.
Namun aku tak mau berulang kali bertanya.
Aku lelah bertanya. Aku lebih memilih kau yang menjawabnya sendiri tanpa aku tanya.
Aku rasa kau sedikit pintar untuk berpikir bahwa semua ini sangat berarti untuk kita.

Semua yang kita lalui, tak ingin kubiarkan sia-sia.
Disaat pertengkaran diantara kita menjadi lebih besar, aku berusaha menahan amarahku. Namun kau tetap memancingku tuk mengatakan perkataan yang tak enak didengar dan dibaca.

Kau tak menghargai usahaku menahan emosi.
Aku hanya perlu berdiam diri untuk berpikir jernih.
Bukan berarti aku bisa tanpamu. Tidak.
Aku hanya tak ingin emosi memakan otakku.
Aku tak mau suatu penyesalan datang padaku selepas emosi menggenangi pikiranku.

Ku pikir kau sedikit bisa mengerti maksudku seperti apa.
Untuk semua yang telah kita lalui, apakah kau tega membuangnya?
Bagiku, tak bisa. Takkan pernah bisa. Kecuali kau yang memintanya.
Selalu saja kita menunggu siapa yang mau mengalah.
Padahal mengalah bukanlah hal yang hina. Tapi hanya saja, emosi kita selalu menuntun kearah yang berbeda.

Kita butuh mendengarkan suara hati kita, bukan suara kicauan manusia-manusia itu yang tak tahu masalah kita.
Jika kita sudah dewasa, yuk, kita sama-sama lalui ini berdua :')

For youu alif♥

CERITANYA INI GARA GARA KAMU!

Awalnya aku kenalan sama kamu. Kemudian lanjut jadi canda-candaan ngerayu-rayu gitu.
Ehhhhh.. awalnya mau modus-modusan, malah jadi sayang-sayangan.
Sayangnya sayang banget, sampe jadian.
Ngelewatin satu dua bulan, ngelalui masalah baik suka maupun duka.
Sempet putus nyambung. Sempet bilang udah males dan jenuh tapi ujung-ujungnya balikan lagi :')

Haaafftt.. namanya juga cinta. Kadang benci kadang sayang.
Sekarang makin cinta sama kamu. Kalo lagi belajar tuh disekolah inget kamu terus. Ngeliat guru eh muka kamu yang muncul. Ngeliat papan tulis, eh ada muka kamu lagi.
Kan aku jadinya senyum-senyum sendiri, lah terus guruku ngerasa ada yang aneh sama aku. Tapi dia gak berani negur.

Mau tidur, keinget kamu lagi. Tutup mata dikit aja langsung muka kamu cepet-cepet nyamber diotak dipikiran aku. Apalagi tutup mata banyak-banyak.

Didalam mimpi juga adanya kamuuuuuu terus.
Pas bangun tidur, eh langsung kangen kamu. Belum cuci muka dan gosok gigi, udah senyum-senyum sendiri dibuat kamu.
Hah.
Kamu memang racun,!!!!

INSPIRASI KU ITU,KAMU!

Tak ada yang lebih bisa membuatku tertarik selain kamu.

Tak ada juga yang lebih menarik dimataku selain kamu.

Memang kita jauh, terhalang beribu-ribu jarak, tapi itu tak meluputkanmu dari doa-doaku.

Memang hanya suaramu yang terdengar jelas melalui telpon, memang hanya fotomu yang kutatap melalui layar elektronik penghantar rindu.

Tapi kamu tak pernah jauh dari inspirasi-inspirasi cintaku untuk membuat satu saja kalimat istimewa untukmu.

Semua pasti heran, kita ini pacaran sama manusia atau sama hape. Tapi bodo amat.
Persetan dengan mereka.

Yang aku tau, takdirku itu bersamamu.

Yang aku tau, Tuhan kirimkan kamu sebagai anugerah terindah dalam hidupku.

Yang aku tau, kau miliki aku dengan segala kelemahanku.

Bukankah kita pernah berjanji untuk tetap berpegang teguh bersama sang pendirian yang kita janjikan?

Lantas, masih ingatkah kau dengan janji itu? Lantas, rapuhkah rasa percaya dirimu dengan cinta berjarak jahat ini?

Aku tak menuntut banyak hal darimu, aku juga takkan menitipkan berbagai permintaanku.

Kau bersedia duduk dan berdiri bersamaku saja, itu sudah menjadi rasa syukurku sendiri terhadap takdir.

Kau jauh disana, bukan berarti aku bisa leluasa mempermainkanmu dari kejauhan. Atau main hati dengan hati yang lain.

Begitu juga kamu. Kamu tak perlu menjadi sosok jahat seperti dulu lagi.

Kita ini suci.
Sejauh ini sanggup bertahan tanpa kata berpaling atau membohongi.

Apa kau tak bangga mendengarnya?

Akupun juga tak perlu menjadi sosok jahat lagi, karna aku sudah punya kamu yang telah menjadi sosok baik yang memenuhi hati nuraniku.

CERITA SINGKAT HARI INI

Temanku disekolah tadi bertanya padaku, "kamu gak takut pacarmu selingkuh disana?". 

Lalu aku hanya tersenyum, senyum sangat manis (menurutku), dan berkata, "aku percaya padanya, aku percaya bahwa dia menjaga dan menghargai perasaanku, dan aku mengetahui semua aktivitasnya."

Lalu temanku hanya tersenyum.  Mungkin dia merasa aneh dengan ucapanku, bagaimana mungkin jauh tapi bisa percaya sepenuhnya? 

Ya itulah..  hal yang tak bisa aku jelaskan terlalu terperinci, namun aku bangga mengatakan bahwa aku salah satu dari korban cinta berjarak. 

Aku tak malu mengakui bahwa aku mnjalin hubungan yang maya atau hanya asa (begitulah pendapat dari beberapa orang).

Yang jelas sampai sekarang yang aku tahu, bahwasanya cinta itu milik kita, kita yang berhak menentukan. 

Biarlah mereka berkomentar, itu tak menggoyahkan semangatku berjuang untukmu.

TERIMAKASIH TELAH MENCINTAIKU

Untuk kamu.

Yang pernah kusebut dalam doa,
Yang pernah kutunggu kabarnya,
Yang pernah membuatku berhenti mengairkan mata.

Terima kasih,
Atas telah hadir dalam hidupku,
Atas telah berbagi kabar denganku,
Atas telah menemani hari-hariku.

Maaf,
Atas telah menjauhimu tanpa pamit terlebih dulu,
Atas telah menghadirkan kecewa dalam hidupmu,
Atas telah mematahkan hatimu.

Barangkali, sekarang, kau jadi menyesal karena sudah mengenalku. Dan kini kau pun tahu, betapa busuknya aku. Saat sebelumnya, kau begitu lapang dada menerima segala kekuranganku. Inilah aku dengan segala ketidakbaikanku. Untuk hal itu, maaf dariku.

Aku tahu, kau mencintaiku. Tak lain halnya denganmu; kau pun tahu, bahwa aku mencintaimu. Mungkin, aku dan kau sebagai kita, bukan yang telah ditakdirkan oleh-Nya. Atau barangkali, belum waktunya. Namun, pahamilah; tak mesti bersama agar merasakan apa itu bahagia.

Kau pun perlu tahu, aku belum sembuh dengan utuh. Aku masih lumpuh. Apa yang pernah patah dalam diriku, belum juga kembali tumbuh.

Aku ini luka yang mengangak, sedangkan kau adalah air cuka. Kau tahu, bagaimana rasanya luka yang mengangak yang disiram air cuka? Sakitnya berlipat ganda.

Aku tak ingin semakin sakit sebab mencintaimu, atau sebab dicintai olehmu. sedari awal bukan niatku untuk menyakitimu, meski berbanding terbalik dengan apa yang telah kulakukan padamu.

Kini, kita telah berada di jalan yang berlainan. Selain maaf yang dapat kuberikan, tentu kau akan selalu kudoakan; semoga kelak di tengah perjalanan, seseorang yang jauh lebih baik dariku akan kau temukan.

Terima kasih telah mencintaiku.

Tertanda,
Yang telah menyia-nyiakanmu