Kamis, 27 Februari 2014

Hello Good Bye II

“INI, Mas, kembaliannya,” ucap seorang penjaga kasir
di sebuah toko buku.

“Hmmmmm,” gerutu seorang pengunjung, sembari
menyodorkan telapak tangan kanannya. Sementara
tangan kirinya, memegang sebuah buku; di mana empat
jari berada di punggung buku, dan jari jempolnya berada
di tengah-tengah buku sebagai sekat agar halamannya
tetap terbuka. Keningnya sesekali mengerut, kedua
matanya menyipit, dengan bola mata bergerak dari kiri
ke kanan secara terus-terusan. Seorang pria itu begitu
khusyuk membaca buku yang tengah terbuka di hadapan
wajahnya.

PLAAAKKK!

Tiba-tiba, seorang perempuan menghentakkan sebuah
buku di atas meja kasir, sehingga membuat kaget pria
yang tengah khusyuk membaca itu.

“Kembalikan buku itu!” ucap si perempuan.

“Eh? Buku apa?” balas sang pria, seraya
menyembunyikan buku yang dimaksud oleh perempuan
itu, di balik badannya.

“Itu, buku yang tadi kamu pegang! Cepat kembalikan!”
“Tidak mau!”
“Berengsek kamu, ya!” ketus sang perempuan, lalu
dengan gegas menginjak kaki kiri pria itu, dengan
sangat kuat.

“Aduuuhhh!!!!!!” pekik sang pria, lantas spontan
mengangkat kaki kirinya, dan memeganginya dengan
kedua tangan. Buku yang tadi disembunyikannya pun
jatuh. Langsung saja dengan cepat sang perempuan itu
memungutnya.

“Rasakan!” tambah sang perempuan, dengan ketus.
Perempuan itu pun bergegas mengambil buku yang ia
hentakkan di atas meja kasir tadi, lalu pergi
meninggalkan toko buku.

“Lucu, ya, waktu itu,” ucap Zenna.

“Hihihi, iya. Betapa sebuah kebetulan yang lucu,” balas
Rega.

“…tapi, Ga, kamu tahu, tidak? Dari pertemuan kita
beberapa waktu yang lalu itu, mungkin, kamu dan aku
menganggapnya sebagai sebuah kebetulan, di sisi lain,
kebetulan itu adalah apa yang telah direncanakan
Tuhan,” jelas Zenna, lalu tersenyum.

“Iya, aku pun memahaminya. Hidup itu, bisa diibaratkan
sebuah film. Kita aktornya, sementara Tuhan,
adalah script writer -nya. Bukan begitu?” tambah Rega.

Zenna membalas pernyataan Rega barusan hanya dengan
sebuah anggukkan dan senyuman.

“Eh, Zen, kita pulang, yuk! Langit sudah mulai gelap.
Besok kita kemari lagi,”
“Iya, ayuk! “
Rega dan Zenna pun pergi meninggalkan dermaga yang
mereka jadikan tempat menghabiskan waktu bersama,
kala langit sore sedang merah-merahnya.

• • •

Kurang lebih, sudah satu tahun lamanya kamu pergi.
Tidak terasa, ya.
Belakangan ini, aku sedang dekat dengan seseorang.
Rega, namanya. Kami dipertemukan beberapa waktu
yang lalu di sebuah toko buku. Kejadiannya cukup lucu.
Kala itu, Ketika aku sedang di meja kasir untuk
membayar buku yang kubeli, aku sempat meletakkan
buku diary ini di atas meja. Lalu setelah membayar buku
yang kubeli, aku lupa memasukkan kembali buku diary ini
ke dalam tas, dan pergi begitu saja meninggalkannya di
atas meja kasir. Rupanya, Rega yang menemukan buku
diary ini. Meski, waktu itu, ia sempat membacanya. Dan
juga, aku mengambilnya kembali dengan sedikit
paksaan. Aku memang ceroboh. Tapi, ya, mau bagaimana
lagi. Sepertinya, sudah menjadi sebuah kebiasaan
bagiku membawa buku diary ini ke mana pun aku pergi.
Hmm, Vin,
Semenjak kehadiran Rega, aku tidak lagi merasa sepi.
Ia selalu menemani hari-hariku. Iya, seperti yang kamu
lakukan dulu.
Entah akan lebih baik di setersunya, atau malah
sebaliknya. Aku pun tak tahu. Biarlah sang waktu yang
akan menjawab.
Sudah dulu, ya. Aku mengantuk. Aku mau tidur. Daaa..
Tertanda,
Yang merindukanmu
Zenna Adinda Kurniasari

Samarinda.
2 januari.

Hoooaaammm..
Uapan Zenna tampak seolah-olah ia sangat lelah. Ia pun
bergegas tidur, setelah tadi, seperti biasa setiap
sebelum ia tidur; ia menulis di diary pemberian Kevin
satu tahun lalu.

• • •

C’KREK!
“Lihat, deh, burungnya lucu, ya,” ucap Rega, sembari
memperlihatkan foto seekor burung yang baru saja
dipotretnya.
“Iya,” balas Zenna, dengan singkat.
“Eh, Ga, kenapa kamu suka memotret?” tanya Zenna.
“Hmm, kenapa, ya? Barangkali, sederhananya, seperti
ini..,” ucap Rega, menggantung, lalu membaguskan
posisi duduknya.
“Kita tidak bisa mengulang waktu, bukan? Dengan
memotret, aku bisa dengan sesuka hati membekukan
waktu, mengabadikan sesuatu, dan nantinya, bisa aku
lihat dalam bentuk matinya. Karena yang dilihat mampu
hilang, sementara yang dicatat mampu dikenang. Aku
mencatat sesuatu menggunakan ini..,” jelas Rega,
seraya mengangkat sebuah kamera DLSR yang talinya
melingkar di lengan kanannya.
“Wah, iya, ya,” ucap Zenna, sambil mengangguk.
“Nah, terus, yang kamu gambar itu, apa?” tanya Rega,
dengan kepala yang menjinjit, melihat sesuatu yang
digambar Zenna di buku diarynya.
“Oh, ini.. Aku menyebutnya Sempiternal,” jawab Zenna,
sembari menyodorkan Rega subuah gambar lingkaran
besar, dan di dalamnya dipenuhi dengan lingkaran-
lingkaran kecil.
“Sempiternal? Apa itu?” Rega kembali bertanya.
“Sempiternal itu, sesuatu yang tidak berujung,” jawab
Zenna.
“Sesuatu yang tidak berujung? Contohnya?”
“Entahlah. Aku pun tidak tahu pasti.”
“Hmm..,” Rega menggumam, sambil menggaruk
kepalanya.
“Perkara apa pun itu, sejatinya tidak memiliki ujung.
Contohnya saja, kebahagiaan. Lingkaran yang besar itu
adalah apa yang dinamakan kebahagiaan, sementara
lingkaran-lingkaran kecil di dalamnya adalah berbagai
macam kebahagiaan yang entah bagaimana itu
bentuknya. Suatu kebahagiaan itu tidak benar-benar
berhenti. Hanya beranjak dari kebahagiaan satu, ke
kebahagiaan lainnya. Semua itu hanya perkara waktu.
Lagipula, hidup itu tentang kejadian yang acak,
bukan?” jelas Zenna, dengan panjang lebar, lalu
tersenyum.
“Iya, kamu benar, Zen. Hidup adalah tentang kejadian
yang acak. Kita hanya tahu kalau kita menemukan
sebuah kebahagiaan, tanpa tahu di mana Tuhan
meletakkan kebahagiaan itu. Bisa saja, Tuhan
menyelipkan kebahagiaan itu di antara dua kesedihan.
Dan, berlaku juga untuk sebaliknya. Begitulah.. Semua
hanya perkara waktu. Tapi, kalau aku pikir-pikir, hidup
ini tidak ada habisnya kalau dipikir,” ucap Rega, sambil
mengusap-usap dagunya dengan tangan kirinya.
“Kenapa dipikir-pikir, mending sekarang kita makan
saja, yuk! Aku lapar,” ajak Zenna.
“Eh? Boleh, boleh..,” balas Rega.
Lalu, mereka berdua pun pergi meninggalkan dermaga.

• • •

DI sebuah tempat makan yang baru dibuka beberapa
minggu yang lalu, terlihat Rega dan Zenna telah selesai
menyantap hidangannya.
“Makanannya enak juga, ya. Pantas saja
pengunjungnya ramai begini. Padahal, tempat makan ini
baru saja dibuka beberapa minggu yang lalu,” ucap
Rega. Zenna tak menanggapi perkataan Rega barusan.
Ia hanya diam. Seperti ada yang salah dengan Zenna.
“Kamu kenapa, Zen? Kok, tidak terlihat seperti
biasanya?” tanya Rega, menyadari ada yang salah
dengan Zenna.
“Menurutmu, kehilangan itu apa, Ga?” Zenna berbalik
bertanya.
“Eh, kenapa bertanya seperti itu?”
“Jawab saja,”
“Hmm, kehilangan itu, bisa sesederhan merasa sepi di
tengah keramaian,” jawab Rega.
“Oh, begitu.”
“Memangnya, kenapa?”
“Jawabanmu tadi adalah jawaban atas pertanyaan
pertamamu,” bilang Zenna. Rega membalasnya hanya
dengan sebuah helaan nafas panjang.
“Sudahlah, Zen.. Kan, sekarang sudah ada aku,” ucap
Rega, dengan tersenyum. Rega mencoba menghibur
Zenna, seraya mencairkan suasana.
“Hmm, Ga, apa kamu pernah merasakan kehilangan?”
kembali Zenna bertanya.
“Pernah, kok,”
“Kehilangan seperti apa itu?”
“Aku kehilangan seseorang yang sangat aku cintai, di
saat aku sedang sangat cinta-cintanya,” jawab Rega.
“Namanya Aurel. Kami sudah berpacaran selama tiga
tahun. Entah kenapa dan oleh sebab apa, waktu itu, ia
memutuskan untuk mengakhiri hubungan yang sudah
susah payah kami bangun. Ia mengambil keputusan
secara sepihak, dengan seenaknya saja,” tambah Rega.
Zenna membalasnya hanya dengan sebuah anggukan
kecil, seraya menggembungkan kedua pipinya.
“Eh, eh, eh! Kenapa kita jadi membahas ini, sih?” ketus
Rega.
“Cari topik yang lain saja, ah,” tambahnya.
“Efek makanan yang enak, kali,” jawab Zenna, lalu
tertawa.
“Eh, ini jam berapa? Temani aku ke rumah sakit, yuk!
Aku mau menebus obat Sonia, teman satu kontrakanku,”
ajak Zenna.
“Ng? Boleh, boleh..,” tutup Rega.

• • •

REGA terlihat berdiri di depan mobilnya. Ia hanya
menunggu di area parkir rumah sakit, tidak ikut masuk
bersama Zenna. Tak berapa lama menunggu, Zenna pun
keluar, menenteng obat yang terbungkus dengan
sangkek putih.
“Sudah, nih. Yuk, kita pulang!” bilang Zenna.
“Yuk!” balas Rega. Tiba-tiba, ketika Rega melangkah
mendekati pintu mobil, ia menabrak seorang perempuan.
Beberapa obat-obatan pun terjatuh di antara mereka
berdua. Rega menunduk, bermaksud memungut obat-
obatan tersebut. Dan ketika ia berdiri kembali, ia
sangat kaget melihat sosok seorang perempuan yang
sedang berdiri di hadapannya. Kedua mata Rega
melotot, menodong mata perempuan itu. Bibirnya
bergerak, namun tidak berbicara. Entah apa yang
membuat kata-kata menjadi tertahan di mulutnya. Di
sisi lain, raut wajah sang perempuan terlihat cemas.
Tak berapa lama kemudian, sang perempuan itu
bergegas pergi meninggalkan Rega.
“Ada apa, Ga?” tanya Zenna, setelah Rega masuk ke
dalam mobil.
“Hmm, tidak ada apa-apa, kok,” ucap Rega, seraya
meletakkan obat-obatan yang ia pungut tadi di bagian
depan dekat kaca mobil. Melihat obat-obatan yang baru
saja diletakkan Rega itu, mendadak, raut wajah Zenna
berubah. Yang tadinya biasa-biasa saja, kini berubah
menjadi bingung keheranan.
“Obat apa itu, Ga?” tanya Zenna, mencoba mencari tahu
jawaban dari rasa penasarannya.
“Oh, ini.. Tadi obat ini terjatuh setelah aku menabrak
seseorang. Paling, ya, cuma vitamin biasa,” jawab
Rega, lalu menjalankan mobilnya.
“Bukan.. Obat itu pasti bukan sekadar vitamin biasa,”
gumam Zenna dalam hati, seraya menyipitkan matanya
menatap obat-obatan itu.
“Pasti ada yang sedang Rega sembunyikan dariku,”
kembali Zenna bergumam dalam hati. Kali ini, mata
tajamnya menyorot ke arah Rega.

• • •

“AKU pulang, ya,” ucap Rega pada Zenna yang berdiri di
depan pintu rumah kontrakannya, dari dalam mobil.
“Iya, hati-hati, ya. Thanks buat hari ini,” balas Zenna,
lalu tersenyum. Rega pun membalas juga dengan sebuah
senyuman. Setelah berpamitan, lalu Rega bergegas
pulang.
Rega tak benar-benar langsung pulang, melainkan
menuju ke rumah seseorang.
Sesampainya Rega di sana, terlihat seorang perempuang
kebingungan mencari sesuatu di dalam mobilnya.
Sesekali ia rogoh isi tasnya.
“Kamu mencari ini, kan, Aurel?” ucap Rega. Seorang
perempuan bernama Aurel yang tak lain adalah mantan
pacar Rega itu pun kaget, melihat Rega telah berdiri di
depan mobilnya, sambil mengangkat sesuatu dengan
tangan kanannya. Sesuatu itu adalah obat-obatan, yang
sedari tadi dicari oleh Aurel. Dengan gegas, Aurel keluar
dari mobil.
“Kenapa obat itu bisa ada di kamu?” tanya Aurel.
“Kamu menjatuhkannya sewaktu kita bertabrakan
tadi,” jawab Rega.
“Kembalikan obat itu!”
“Aku tidak akan mengembalikan obat ini, sebelum kamu
menjawab pertanyaanku!”
“Tanyakan saja pertanyaanmu itu!”
“Kenapa kamu pergi?” tanya Rega, dengan sedikit
menarik urat lehernya.
“Kenapa kamu diam, Aurel? Jawab pertanyaanku!”
bentak Rega, setelah pertanyaan pertamanya tadi
hanya dijawab dengan diam oleh Aurel.
“Jawab perta……”
“Kamu tidak mengerti, Rega! Kamu tidak mengerti!”
timpa Aurel, dengan nada sedikit keras.
“Apa maksud kamu?” kembali Rega bertanya.
“Obat yang kamu pegang itu adalah jawabanya,” jawab
Aurel. Rega pun menatap tajam ke arah obat-obatan
yang masih terbungkus rapi di genggamannya itu. Satu
per satu tanda tanya mulai muncul di dalam kepala Rega.
“Aku tidak mengerti maksudmu,” ucap Rega. Tiba-tiba,
Aurel menjambak rambutnya sendiri.
“Kamu lihat ini, Rega! Lihat ini!” ketus Aurel. Spontan,
tanda tanya yang ada di dalam kepala Rega tadi menjadi
berantakan tak karuan. Keningnya mengerut, mulutnya
menganga, dadanya kembang-kempis, sekujur tubuhnya
bergetar. Keringat dingin pun membasahi kening dan
kuduknya. Ekspresi wajah Rega seakan-akan tak
percaya setelah melihat Aurel menarik rambutnya
sendiri, yang tak lain adalah wig (rambut palsu).
“Ka..kkk..ka..kam..mu……,” ucap Rega, dengan nada
bergetar.
“Bagaimana kamu mau mencintai seorang perempuan
yang tidak memiliki rambut lagi?! Bagaimana kamu mau
mencintai seorang perempuan yang hidupnya sudah tidak
lama lagi?! …yang sudah tahu kapan ia akan mati?!
Hah?!” bentak Aurel. Mata Aurel terlihat berkaca-kaca.
“Aku memang tidak pernah ingin menyakitimu, tapi
keadaan memaksanya!” Aurel menambahkan, dengan pipi
yang telah terbasahi oleh air mata.
“Aku meninggalkanmu, bukanlah seutuhnya keinginanku!
Aku hanya tak ingin membebani seseorang yang sangat
aku sayang!” jelas Aurel, dengan mata yang
mengeluarkan air lebih banyak lagi.
Karena kenyataan yang menampar Rega begitu sakit,
semua yang dibendung Rega di kelopak matanya sedari
tadi pun tumpah. Sekujur tubuh yang bergetar membuat
kedua kaki Rega tak mampu lagi menopang tegaknya.
BRUUUK!!!
Rega roboh.
“…Aurel……,” gerutu Rega, dengan nada bergetar, dan
air mata yang berlomba-lomba untuk jatuh. Tak jauh
dari situ, Aurel terlihat menangis dengan mendekap
kedua tekukan kakinya.

• • •

SEMENJAK kejadian malam itu, kedekatan Rega dengan
Zenna jadi mengendur. Wajar saja, Rega lebih banyak
menghabiskan waktunya menemani Aurel. Di sisi lain,
Zenna menyadari perubahan Rega. Dan, kesedihan yang
tadinya Zenna pikir telah seutuhnya hilang, kini kembali
datang.
Kian waktu berjalan, sesuatu yang ditutup-tutupi
dengan segala cara, pada waktunya, akan terbongkar
juga dengan segala cara.
Zenna pun mengetahui jika Rega sedang dekat dengan
seorang perempuan. Zenna tidak tahu bahwa perempuan
itu adalah Aurel. Yang Zenna tahu, Rega sedang dekat
dengan perempuan lain. Tak lain halnya dengan Zenna.
Aurel juga tahu bahwa Rega telah lama dekat dengan
Zenna.

• • •

“GA, kamu di mana? Bisa kita bertemu sekarang? Di
tempat biasa?” tanya Zenna, melalui telepon.
“Bisa, bisa!” jawab Rega.
“Ya sudah. Cepat, ya. Aku tunggu,” tutup Zenna.
Tak berapa lama kemudian, Rega pun datang menemui
Zenna.
“Hei! Sudah lama menuggu?” sapa Rega.
“Eh? Tidak, kok,” balas Zenna.
“Kamu habis dari mana?” tanya Zenna.
“Dari rumah sakit.”
“Ada apa?”
“Ah, tidak ada apa-apa, kok.”
“Lantas, yang kamu bawa itu, apa?” tanya Zenna,
penasaran melihat sangkek putih berisi obat-obatan
yang dibawa Rega.
“Oh, ini.. Ini cuma vitamin biasa,” jawab Rega.
Mendengar jawaban Rega barusan, ekspresi wajah
Zenna mendadak berubah.
“…ng, Ga.. Kalau semisalkan aku terkena penyakit
kanker, apa yang akan kamu lakukan?” tanya Zenna,
dengan tiba-tiba.
“Eh? Kenapa bertanya seperti itu?” Rega berbalik
bertanya.
“Jawab saja.”
“Kalau kamu terkena penyakit kanker, aku akan
berusaha semaksimal mungkin untuk selalu ada di
dekatmu. Menjaga kamu, menghibur kamu, mengusir
sepi dan sedih yang mendatangimu. Membuatmu
tertawa, bahagia, dan menganggap bahwa kanker
adalah hal yang biasa-biasa saja,” jawab Rega, lalu
tersenyum pada Zenna.
“Oh, begitu..,” balas Zenna. Mendengar perkataan
Rega barusan, Zenna seperti menemui titik putih dari
sesuatu yang abu-abu di pikirannya. Sekarang Zenna
mengerti, kenapa Rega sulit meluangkan waktu
untuknya akhir-akhir ini.
“Kamu harus memilih, Ga,” ucap Zenna, dengan tiba-
tiba.
“Apa maksud kamu?” tanya Rega, keheranan.
“Sudah, jangan kamu tutup-tutupi lagi. Aku sudah tahu
semuanya,” tambah Zenna.
“Siapa yang sakit?” tanya Zenna.
“Maksud kamu apa, sih, Zen?” Rega menodong Zenna
dengan wajah yang dibingung-bingungkan, demi
menutupi apa yang sebenarnya terjadi.
“Obat itu.. Obat itu bukan vitamin, kan? Itu obat
kanker, kan? Itu obat yang sama seperti obat yang
selalu diminum Kevin,” jelas Zenna. Tiba-tiba..
Drrrttt.. drrrttt.. drrrttt..
Ponsel Rega bergetar. Sebuah telpon masuk menunda
perbincangan serius Rega dan Zenna.
“Iya, halo?” sapa Rega, pada seseorang di ujung
telepon.
“Hah?! Apa?! B..bbb..baiklah!” ucap Rega, dengan raut
wajah cemas.
“Dari pihak rumah sakit, kan?” tanya Zenna, dengan
spontan.
“Aurel.. Aurel yang sakit,” balas Rega.
“Ia menjauhiku karena ia tak mau membebaniku karena
penyakit kankernya,” jelas Rega.
“…dan sekarang kondisinya sedang keritis,” tambah
Rega.
“Pergilah..,” ucap Zenna.
“T..tt..ta…..”
“Rivaldy Rega Syahputra.. Kamu tidak bisa mencintai
dua hati di waktu yang bersamaan. Karena tidak ada
satu pun manusia yang adil dalam hal membagi. Kamu
harus memilih..,” tambah Zenna. Tiba-tiba, mata Zenna
berkaca-kaca.

“Aku tidak mau memilih, Zenna!” ketus Rega.

“Terkadang hidup memang begitu, Rega. Terkadang,
kita dipaksa memilih pilihan yang sama sekali tidak
pernah kita pikirkan, ataupun kita inginkan,” ucap
Zenna, dengan air mata yang mulai menetesi pipinya.

“…bukannya, hidup itu tentang kejadian yang acak?”
tambah Zenna, mencoba meyakinkan Rega. Lalu, Zenna
perlahan mendekati Rega. Ia tempelkan kedua telapak
tangannya pada pipi Rega. Mengangkat kepala Rega
yang menunduk. Sejenak Zenna tersenyum, lalu
memejamkan mata, dan mengecup bibir Rega.

“Pergilah.. Waktu tak akan menunggu mereka yang
menunggu,” ucap Zenna, lalu berdiri, seraya tersenyum
dengan air yang masih menetes dari matanya. Tak lama
kemudian, Rega pun ikut berdiri, lantas berucap pada
Zenna;

“Kamu tahu, apa sesuatu yang Sempiternal itu? …
sesuatu yang tidak memiliki ujung? Itu adalah waktu.
Semua hanya perkara waktu. Kian waktu berlalu, kita
akan beranjak dari kejadian satu, ke kejadian lainnya.
Dari sekian acak kejadian yang dihadirkan oleh waktu,
kita bisa belajar banyak hal. Mulai dari akan ada tawa
setelah air mata, akan berdiri kembali setelah jatuh,
sakit demi sakit akan menuai sembuh, yang rapuh akan
dikembalikan utuh, pun yang patah akan kembali tumbuh.
Semua hanya perkara waktu.., ” jelas Rega, dengan
panjang lebar. Lalu perlahan, Rega pergi meninggalkan
Zenna. Sementara Zenna, masih berdiri di tempatnya
tadi.

“Kita beranjak dari kehilangan satu, ke kehilangan
lainnya. Begitu juga dari pertemuan satu, ke pertemuan
lainnya. Barangkali, yang dimaksud acak, adalah;
pertemuan yang terselip di antara kehilangan satu ke
kehilangan lainnya, atau kehilangan yang terselip di
antara pertemuan satu ke pertemuan lainnya. Because
Hello, is another Goodbye. And a Goodbye, will bring us to
another Hello,” gumam Zenna, dalam hati. Air dari mata
Zenna tak berjeda untuk jatuh, mengiringi langkah
kepergian Rega yang semakin menjauh. Sosok seseorang
yang tadinya dihadirkan oleh waktu, perlahan
disamarkan, lalu dihilangkan juga oleh waktu.

“Ya, semua hanya perkara waktu,” sekali lagi, Zenna
bergumam dalam hati. Kali ini, Rega benar-benar sudah
tidak tampak lagi.

-End:)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar