Kamis, 27 Februari 2014

APAKAH KAMU MASIH YANG DULU AKU KENAL?

Aku menatap wanita yang kucintai itu dengan tatapan
bersalah. Sebenarnya aku juga tidak tahu siapa yang salah,
aku yang salah atau dia yang salah. Rasanya memang tak ada
yang membuat kesalahan, tapi aku merasa ada sesuatu yang
salah di antara kita. Dia wanita yang sungguh berbeda. Wanita
yang tidak lagi kukenal. Aku kehilangan cara untuk
menghadapi segala macam tindakannya.
“Aku enggak mau makan di situ, mahal.”
“Aku yang bayarin!” ucap kekasihku sambil menarik
dompetnya dari tas, “Kita makan di sana aja ya, enak kok,
banyak gizinya, supaya kamu gendutan dikit. Kalau kurus kan
enggak enak dipeluk.”
“Kamu yang bayarin?”
“ Well , kenapa?”
“Emangnya kita enggak bisa makan dipinggiran jalan
aja? Yang lebih enak, lebih murah juga.”
“Enggak ah, makan di sana berdebu, banyak asap
kendaraan bermotor. Aku mau makan di restoran aja.”
“Aku enggak mau.”
“Kenapa? Emangnya salah kalau aku memberikan yang
terbaik untuk pacarku sendiri? Kalau makan di pinggir jalan
nanti kamu sakit. Kamu kan enggak tahu bahan campuran dari
makanan itu bersih atau enggak.”
“Restoran itu mahal, Sayang. Aku enggak bisa
bayarin kamu makan di sana!”
Wanitaku terdiam sesaat, ia hanya menatapku dengan
tatapan bersalah, “Memangnya salah kalau aku bayarin
kamu?”
“Enggak ada yang salah, cuma terlalu sering. Aku kan
cowok, kewajibanku adalah membayar kebutuhanmu.”
“Siapa yang bikin peraturan kayak gitu? Gender
banget. Cewek enggak boleh bayarin cowok?”
“Itu bukan peraturan, Sayang. Itu seperti kodrat,
sebuah keharusan.”
“Kita cuma mau makan, bukan mau ngurusin
kewajiban dan hak. Ribet banget sih kamu!”
“Kamu itu pacar aku, harusnya kamu mau aku atur.”
“Oh, gitu, mentang-mentang aku cewek, lantas kamu
berhak mengatur aku?”
“Bukan, maksud aku, kapan kamu memberi aku
kesempatan menjadi laki-laki seutuhnya? Yang bisa melindungi
kamu dan memenuhi kebutuhanmu?”
“Aku bukan wanita manja yang butuh lelaki sebagai
penutup kelemahan. Aku bisa menutupi kelemahanku sendiri.”
“Itulah, Sayang, yang seringkali aku benci dari sikap
kamu. Sombong.”
“Aku yang bayarin kamu segalanya! Karena apa?
Karena aku tahu, kamu enggak mampu melayani yang aku mau.
Ini bukan soal hak dan kewajiban, Sayang. Ini soal keinginan
untuk berbagi.”
“Egois!”
“Terserahlah. Aku capek berdebat berulang-ulang
kayak gini.”
“Mau kamu apa?”
“Aku mau pulang, aku balik sama supirku aja. Aku
males naik motor sama kamu. Panas! Bau! Pusing! Repot kalau
banyak wartawan tahu kalau aku naik motor sama kamu!”
Aku menghela napas, “Pulanglah, aku cuma enggak
mau bikin kamu kehujanan dan kepanasan gara-gara naik
motor sama aku.”
Ia hanya menggeleng-gelengkan kepalanya, raut
wajahnya seakan tak memercayai bahwa pernyataan sekejam
itu bisa terlontar dari bibirku. Kekasihku melengos pergi, aku
tak mampu lagi menahannya untuk tetap tinggal. Ia terlalu
mandiri, terlalu kuat, dan terlalu mudah meninggikan dirinya.
Aku yang kecil hanya bisa menerima, menetap dia dari jauh,
tapi tetap mencintainya.
Ketika punggungnya terlihat menghilang, aku berpikir
dengan gelisah. Apakah wanita mandiri tak lagi membutuhkan
sosok pria di sampingnya?

****

Langit-langit rumahnya masih sama. Putih. Bersih.
Kosong. Ia punya pembantu untuk mengantarkan minum
untukku, tapi ia selalu berpendapat bahwa aku harus dilayani
oleh kekasihku sendiri—dia.
“Kamu naik motor?” percakapan awal yang tak begitu
kuharapkan, pertanyaan seperti ini harusnya tak ditanyakan
lagi.
“Iya, kenapa?”
“Di luar kan panas, kenapa enggak minta jemput sama
supirku aja?”
“Aku cuma ke rumahmu, bukan ke kawah Gunung
Merapi.”
“Jayus ah!” senyum kecil tergambar di sudut bibirnya,
senyum yang akhirnya bisa kunikmati dengan bebas.
“Akhirnya kita bisa ngobrol sedekat ini.” aku
menggeser posisi dudukku lebih dekat dengannya, ia mengerti
keinginanku; ia segera bersandar di dadaku.
“Maaf untuk kejadian kemarin, mungkin aku terlalu
lelah dan enggak bisa memahami keinginan kamu.” wanitaku
berbicara dengan nada menyesal, aku bisa rasakan
penyesalannya.
“Aku yang salah, harusnya aku sadar dan paham, kamu
enggak bisa makan sembarangan.”
“Bukannya aku gak bisa makan sembarangan, aku
lebih memikirkan pola makanmu.”
“Iya, makasih.” tuturku tegas sambil mengenggam
jemarinya, “Aku juga paham, kamu bukan wanita yang seperti
dulu. Yang sederhana, yang mudah kuajak ke mana-mana.
Kamu sibuk dengan pekerjaanmu.”
“Ini mimpi aku, salah kalau aku mengejarnya? Salah
kalau aku akhirnya berhasil dan bisa menghasilkan banyak
materi?”
“Bukan itu yang salah, kamu berbeda. Berbeda!”
Ia menghela napas, meremas-remas tempurung
kepalanya, “Aku enggak mau berdebat. Aku sudah cukup lelah
dengan pekerjaanku, dengan jadwal syuting di banyak tempat.
Kita cuma punya waktu sedikit untuk bersama, jangan rusak
segalanya dengan egomu.”
“Aku membicarakan kenyataan, kamu berubah. Kamu
udah enggak mau kuajak makan dipinggir jalan, udah enggak
mau aku bayarin. Sekarang, kamu yang mengatur segalanya.”
Dia kembali menegakkan posisinya, tak lagi bersandar
di dadaku. “Aku enggak berubah, kamu yang belum terbiasa
dengan aku yang sekarang.”
“Kalau kamu ingin aku jujur, aku lebih menginginkan
kamu yang dulu.”
“Segalanya udah berbeda, Sayang. Jarum jam tidak
mungkin bisa diputar ke kiri.”
“Apa kita enggak bisa kayak dulu lagi? Jalan-jalan
bareng ke tempat yang ramai tapi tetap bisa ngobrol bareng
kamu.”
Kekasihku menggeleng mantap, “Banyak mata
mengawasi aku.”
“Aku belum siap dengan ketenaran kamu.”
“Aku juga belum siap, tapi kalau aku beranggapan
belum siap maka aku tak akan pernah siap.”
“Apa dalam ketenaranmu, kamu masih membutuhkan
aku?”
“Aku masih sangat butuh sapaan selamat pagi darimu,
juga ucapan selamat tidur dari kamu. Aku masih wanitamu
yang dulu.”
Senyumku mengembang, aku menarik dia dalam
pelukku. Rapat sekali.
Mungkin kekasihku benar, aku hanya belum siap pada
perubahannya yang sekarang. Soal perasaan, wanita tak
pernah salah.
Semandiri apapun wanita, ia tetap membutuhkan sosok
pria tangguh di sampingnya.

END!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar