Jumat, 17 Juni 2016

Aku, trauma.

Tidak pernah terpikirkan sebelum ini, saat-saat seperti ini akhirnya datang juga. Ketika diri sendiri merasa terlalu sepi untuk lari dari sunyi, namun terlalu enggan mencari yang mampu mendampingi. Seakan pe(rasa)an di dalam dada terlampau berharga untuk diberikan begitu saja. Seakan kosong di dalam hati terlalu kecil untuk aku tutupi sendiri —padahal tidak. Semua bagai berpura-pura, namun bukan begitu sebenarnya. Aku hanya takut terluka, sebab segala pe(rasa)an yang aku kenal, belum ada yang berakhir bahagia.

Aduh.

Sesukar itukah pe(rasa)an yang menghampiri hati? Atau aku yang tidak berhati-hati menaruh hati?

Jika menyayangi berarti memberi hati sepenuhnya, aku tidak ingin mempertaruhkannya pada yang mahir meretakkan; karena tidak pernah ada yang tahu telah sejauh apa aku mengutip serpihan hati satu per satu, mengumpulkannya, lalu menyatukannya lagi hingga sempurna, hingga tidak ada luka. Dan setelah hati sembuh, lalu semudah itu seseorang yang baru menghancurkan hati ini semula?

Aku tahu, tak baik terus begini.

Jika boleh memilih, aku ingin menggunting peta takdir. Agar tidak perlu melalui banyak hati, dan langsung sampai di pelabuhan terakhir. Tapi inilah perjalanan. Kaki bertugas melintasi dan hati mempelajari apapun yang diberikan - Rika Rifatunnisa

Ini juga tentang menjalani, bertahan dan mendewasa dalam setiap pilihan.

Allah hanya memberi sesuatu jika kita telah betul-betul bersedia memilikinya. Mungkin saja ada yang memang belum betul-betul bersedia — mungkin saja aku, mungkin saja kamu, mungkin saja entah.

Meyakini hal-hal yang belum pasti memang tidak mudah, tapi lebih baik daripada menjatuhkan diri pada kesedihan yang salah.

Bersabarlah wahai hati. Yakinlah, di lain hari, kita akan lebih bahagia daripada ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar