Selasa, 05 November 2013

10 hari setelah kepergian mu

Tidak disangka, sudah sepuluh hari sejak aku dan kamu
memilih pisah. Ternyata, beberapa minggu ini, segalanya
memang terasa tak lagi sama seperti dulu. Aku dan kamu
memilih saling menjauh, sebenarnya tak saling, karena yang
memilih pergi lebih dulu adalah kamu. Di sini, aku cuma
mengimbangi, cuma berusaha menerima kamu yang sudah jauh
berbeda.

Selama ini, aku berusaha terlihat baik-baik saja. Tentu saja,
ada yang datang dan pergi selama sepuluh hari ini, Sayang.
Tapi, entah mengapa; aku tak berani membuat hubungan baru
itu menjadi hubungan yang serius. Aku masih teringat kamu,
masih teringat kita, dan masih terlalu takut untuk buru-buru
membuka hatiku.

Aku sudah tahu kalau kamu sudah punya penggantiku. Betapa
mudah bagimu, Sayang, untuk melupakan segalanya. Aku juga
ingin sepertimu yang mudah bahagia tanpa melibatkan
kehadiran masa lalu. Kemudian, atas izin Tuhan, aku bertemu
dia. Pria yang tak setampan kamu, berkulit sawo matang,
rambutnya memang tidak sesempurna rambut tebal dan
hitammu. Hidungnya tidak mancung, dia tidak terlalu humoris
seperti kamu. Ah.... bayangkan, Sayang, aku masih
membanding-bandingkan banyak pria dengan kamu. Entah
sejak kapan postur tubuhmu yang begitu kuingat sudah
menjadi patokanku untuk mencari pengganti baru. Mungkin,
ini obsesi tersendiri. Aku ingin menghadirkan sosokmu dalam
tubuh seseorang yang baru.

Pria baru itu berjanji seperti kamu, Sayang. Dengan tatapan
lembut, dengan rangkulan yang pekat, dengan bisikan yang
terasa begitu dekat. Awalnya, aku tak ingin memercayai itu.
Awalnya, aku ingin mendiamkan kehadirannya dan membiarkan
dia bertingkah tanpa kugubris sama sekali. Tapi, sekali lagi,
Sayang, aku sedikit menemukan sosokmu dalam kehadirannya.
Dia pendengar yang baik, mau memahami imajinasiku, mampu
membuatku tertawa. Dan, satu lagi, perlahan-lahan dia
hampir membuatku melupakanmu.

Ada dirimu di dalam dirinya, tapi dia sungguhlah orang yang
berbeda. Dia pernah bilang padaku, takkan menyakitiku
seperti kamu menghempaskanku. Dia pernah berjanji, takkan
meninggalkanku seperti dengan mudah kamu menyuruhku
pergi. Sorot matanya yang lembut dan hangat, membuat aku
(sekali lagi) percaya bahwa itu cinta. Aku mencoba
melupakanmu, Sayang. Aku izinkan dia masuk dalam hidupku,
menjadi orang yang menggenggam jemariku; jemari yang
pernah kaugenggam begitu erat dan kaujanjikan tak akan
pernah kaulepaskan.

Pelan-pelan, dia mengobati lukaku. Dalam setiap percakapan
panjang kami di ujung telepon, dia selalu membuatku tertawa
geli, walaupun leluconnya memang tak sebodoh leluconmu.
Lalu, dengan sikapnya yang
manja namun menggemaskan, dia menjelaskan perbedaan
antara tokoh antagonis dan protagonis. Sambil menyebut
namaku dengan panggilan yang sangat manis, dia
mengucapkan kata sayang itu. Kata sayang yang lembut dan
deras, sama ketika kamu ucapkan kalimat itu untukku.

Aku yakin dia adalah yang paling berbeda, dia berhasil sedikit
demi sedikit membawa matahari ke dalam mendungku.
Pertama kali bertemu, dia langsung membawaku ke dalam
rangkulannya. Sayang, kamu ingat? Pertama kali bertemu,
kamu juga langsung merangkulku. Namun, aku tak sadar, bagi
seorang pria; rangkulan berarti hanya menginginkan
segalanya sebatas pertemanan, walaupun ada kata sayang
dan kata cinta dalam status tersebut. Iya, itu yang kupelajari
darimu. Alangkah jahatnya pria-pria macam dia dan macam
kamu, semoga cukup aku saja yang merasakan dusta seperti
itu.

Dibuatnya perasaanku tak lagi beku, tapi diam-diam pun aku
masih merindukanmu. Masih kucuri waktu untuk mencari
kabarmu. Masih kusempatkan diri untuk merindukanmu. Masih
kusebutkan namamu dalam setiap wirid lemah di ujung
malamku. Kamu masih jadi segalaku, Sayang. Entah sejak
kapan, kamu sudah memenuhi ruang-ruang sepi di hati dan
otakku. Bukan perkara mudah untuk mengusir kamu dengan
mengganti seseorang yang baru. Seseorang yang sosoknya
justru sering mengingatkanku padamu.

Kamu mau tahu cerita akhirnya? Iya, dia tidak berbeda
denganmu. Dia membuatku mulai mencintainya, lalu aku
percaya segala perkataannya. Ketika kuharap dia menjadi
yang pertama, ternyata dia malah menjadikanku yang
kesekian. Dia tinggalkan aku semudah kamu meninggalkanku.
Dia pergi semudah kamu memilih pergi. Aku tak tahu, Sayang.
Sekarang siapa yang salah? Siapa yang berdusta? Rasanya
aku sudah terlalu lelah. Terlalu lelah merindukanmu, juga
sudah terlalu lelah mengharapkan seseorang yang lebih baik
darimu.

Apakah aku harus berkata hal bodoh ini? Aku ingin kamu
kembali.

@rechajunior

Tidak ada komentar:

Posting Komentar