Selasa, 05 November 2013

BUKAN KISAH YANG TERLALU PENTING

Aku masih merasakan sesak yang sama. Aku tahu bahwa pada
akhirnya aku akan sesedih ini, aku berusaha menghindari air
mata sekuat yang aku bisa. Tapi, kautahu, aku adalah wanita
paling tidak kuat menahan kesedihan. Kamu mendengar
ceritaku tentang pria itu kan? Aku selalu bercerita padamu
tentang dia. Seberapa dalamnya perasaanku, seberapa kuat
cinta makin menerkamku, dan seberapa hebat senyumnya bisa
begitu meneguhkan langkahku.

Kamu tentu tahu seberapa dalam perasaanku padanya dan
betapa aku takut perbedaan aku dan dia menjadi jurang. Aku
tak pernah memikirkan perpisahan selama ini, tapi ternyata
hal yang begitu tak ingin kupikirkan pada akhirnya terpaksa
masuk otakku. Aku dan dia tak lagi seperti dulu. Sapaannya
tak lagi sehangat dulu, senyumnya tak lagi semanis dulu, dan
tawanya tak lagi serenyah dulu. Aku tak tahu perubahan
macam apa yang membuat sosok pria itu begitu berbeda.
Dari semua sikapku, tak mungkin kautak tahu aku punya
perasaan lebih padanya. Dari semua ceritaku, tak mungkin
kautak paham bahwa aku mulai jatuh cinta padanya. Aku
terlalu banyak diam dan memendam, mungkin di situlah
kesalahanku. Terlalu egois mengatakan dan terlalu takut
mengungkapkan. Aku tak bisa menyalahkan siapa-siapa dan
tak bisa mengkambinghitamkan siapa pun. Bukankah dalam
cinta tak pernah ada yang salah?

Mengetahui kenyataan yang mencekam seperti itu, aku jadi
malas tersenyum dan berbicara banyak tentang perasaanku
pada orang lain. Aku malah semakin belajar untuk menutup
rapat-rapat mulutku pada setiap perasaan yang minta
diledakkan lewat curhat-curhat kecil.

Berbahagialah kamu bersama pria itu, pria yang selalu kubawa
dalam cerita-ceritaku. Pria yang bagiku terlalu tinggi untuk
kugapai dan terlalu misterius untuk kumengerti jalan
pikirannya. Setiap melihatmu dengan pria itu, aku berusaha
meyakinkan diriku; bahwa aku juga harus ikut berbahagia
melihatmu dengannya. Sejatinya, cinta adalah ikhlas melihat
orang yang kucintai bahagia meskipun ia tak pernah
menjadikanku pilhan satu-satunya.

Tenanglah, aku sudah mulai melupakannya. Sudah ada seorang
pria baru, yang tak begitu kucintai, tapi kehadirannya bisa
sedikit mengundang senyum di bibirku. Aku tak tahu, apakah
perasaanku pada pria baru itu adalah cinta. Aku tak berusaha
memahami, apakah hubungan yang kami jalani selama ini
adalah ketertarikan sesaat atau hanya sarana untuk
menyembuhkan luka hatiku? Kami tertawa bersama,
menghabiskan waktu berdua, tapi segalanya terasa biasa
saja. Tak ada ledakkan yang begitu menyenangkan ketika aku
bertatap mata dengannya.

Pria yang selalu kuceritakan padamu, yang kini telah menjadi
kekasihmu, selalu berbentuk gumpalan bayang-bayang di
otakku. Semakin aku berusaha melawan, semakin aku tak bisa
menerima bahwa segalanya tak lagi sama. Aku tak ingin
ingatanku dan perasaanku yang dulu begitu besar pada masa
lalu menjadi penyiksa untuk pria baru yang ingin
membahagiakanku kelak. Aku hanya berusaha mengerti yang
terjadi dan berusaha pasrah dengan kenyataan yang memang
harus kuketahui. Aku tak ingin dibohongi oleh kesemuan yang
membahagiakan, lebih baik kenyataan yang memuakan tapi
penuh kejelasan.

Aku mohon, jagalah pria itu dengan susah payah, dengan
sekuat tenagamu. Aku ingin kebahagiaannya terjamin
olehmu. Aku ingin dia bahagia bersamamu. Di sini, aku tak bisa
berbuat banyak, selain membantu dalam doa.

Aku tak sempat membuat dia tersenyum. Tolong, inilah
permintaanku yang terakhir, setelah ini aku tak akan
mengganggumu; bahagiakan dia, buatlah dia terus tersanyum,
dan biarkan saja dia tak tahu ada seseorang yang terluka
diam-diam di sini.

@rechajunior

Tidak ada komentar:

Posting Komentar