Selasa, 05 November 2013

CINTA TAK BUTUH PENGORBANAN

Saya masih mengurusi luka yang tergores beberapa minggu
yang lalu. Luka yang saya obati sendiri, dengan jemari saya
sendiri, dengan perjuangan sendiri. Di hidup ini, harus ada
yang datang dan pergi, agar saya paham arti singgah dan
menetap. Di hidup ini, harus ada yang tinggal dan menghilang,
agar saya tahu yang terbaik pastilah yang tetap tinggal dan
tidak akan menghilang; kecuali jika Tuhan mengizinkan
"kehilangan".

Saya tak tahu bahwa kebodohan saya bisa begitu berlipat
ganda. Saya tak yakin jika ini semua saya lakukan karena
saya mencintai dia. Rasanya sangat sulit melupakan sosok
yang saya harapkan tetap tinggal tapi ternyata dia pergi.

Sungguh sangat berat menghilangkan seseorang yang saya
kira akan menetap tapi pada akhirnya dia pergi. Saya,
sebagai manusia biasa, hanya bisa berharap pada setiap
pertemuan, dan berdoa agar perpisahan tak cepat-cepat
merenggut dia dari genggaman saya. Sebagai manusia yang
serba terbatas, saya hanya mampu menjaga, saya tak tahu
kapan ia akan pergi, kapan dia akan meninggalkan saya.
Perkenalan yang saya pikir akan berujung bahagia ternyata
berakhir dengan siksa. Sekarang, saya tak lagi menangisi
kehilangan, saya hanya bingung mengapa pertemuan yang
begitu singkat bisa memunculkan kesan yang mendalam.

Kadang, saya tak sadar, bahwa ketika bibir seseorang
mengucap "Hai" sebenarnya saat itu juga saya harus siap pada
banyak risiko; risiko kehilangan. Dunia ini penuh teka-teki,
sebagai manusia yang mencoba menjawab dengan perasaan
dan otak yang terbatas, kadang saya hanya bisa menangkap
isyarat-isyarat kecil saja.

Dengan membawa sisa hati yang remuk, saya disadarkan oleh
kicauan Sudjiwo Tedjo, salah satu sosok yang saya kagumi.
Jemarinya yang ajaib menulis "Cinta tak perlu pengorbanan.
Saat kamu mulai berasa berkorban, saat itu juga cintamu
mulai pudar." Ah, betapa kalimat ini begitu menyentak saya.

Memang, seringkali ketika berbuat untuk seseorang, manusia
menyebut hal itu adalah pengorbanan. Begitu juga ketika
saya mencintai dia. Saya tak tahu pasti apakah saya memang
berkorban untuk dia atau sakit hati saya terlalu besar,
hingga pada akhirnya, setelah saya dan dia tak lagi bersama,
saya menyatakan diri bahwa saya telah berkorban banyak
untuknya. Apakah cinta saya pudar? Oh, betapa manusia
berbeda dengan Tuhan, yang tak pernah ungkit-ungkit
pengorbananNya di kayu salib, yang tak pernah bilang betapa
sakitnya lambung yang ditusuk dengan tombak, dan betapa
perihnya mahkota duri yang tersemat di kepala.

Saya sedang merapikan hati saya yang patah. Mencoba
menyambungkan mozaik-mozaik yang terlepas karena
kebodohan saya sendiri. Lalu, saya berpikir sekali lagi, apakah
benar cinta saya padanya telah pudar? Iya, sekarang sudah
pudar, karena pada akhirnya saya merasa berkorban
untuknya. Pada akhirnya, saya, yang sedang berusaha
menghilangkan cinta, mengingat banyak perbuatan, yang
(tiba-tiba) saya sebut pengorbanan. Apakah cinta saya tak
tulus?

Pengorbanan biasanya dilakukan meskipun kamu kesakitan.
Tapi, ketika jatuh cinta; ketika kaumasih terbangun tengah
malam hanya untuk mendengar suaranya, saat
kaumenunggunya menyelesaikan tugas, manakala pesan
singkatnya kaunanti— kautak pernah merasa disakiti. Semua
dilakukan atas dasar cinta, kaumencintainya maka
kaubersedia menunggunya. Kaumencintainya, maka
kauizinkan dirimu terus menanti, meskipun pada akhirnya dia
tak menjadikanmu tujuan. Bukankah air matamu untuknya
tetap kaupandang sebagai keindahan, kaumenangis karena
mencintainya, bukan karena kaumerasa berkorban.

Lucu, ya, betapa kata pengorbanan yang sering kita anggap
sepele ternyata bisa begitu magis ketika digali. Saya sudah
sering disakiti begini. Sudah tahu rasanya dicintai, namun
pada akhirnya dia memilih pergi bersama teman saya sendiri.
Sudah tahu rasanya diterbangkan tinggi, namun tiba-tiba
dihempaskan begitu saja. Lantas, walaupun kita seringkali
merasa disakiti, mengapa rasa sakit itu tak pernah membuat
kita kapok untuk jatuh cinta lagi?

Betapa kekuatan cinta bisa membebaskan kita dalam banyak
hal, melupakan "rasa sakit" yang seringkali diucapkan orang-
orang sekitar kita, ketika mereka menasehati; bahwa
segalanya harus diakhiri. Ya, cinta soal keikhlasan, tak
pernah merasa berkorban. Cinta tak butuh alasan, karena
ketika pada akhirnya kautemukan alasan untuk mencintainya,
maka cintamu pudar.

Cinta tak butuh pengorbanan. Apapun yang kaulakukan
untuknya adalah dasar karena kauinginkan dia bahagia.
Termasuk ketika kauikhlaskan dia untuk sahabatmu. Termasuk
ketika kaubiarkan ia pergi.

@rechajunior

Tidak ada komentar:

Posting Komentar