Jumat, 08 November 2013

JIKA KEBOHONGAN MEMBAYANGI LANGKAHKU

Aku takut untuk mengetahui kenyataan yang ada, walau
tatapan mata itu, seruan kelu bibirmu, dan janji manismu
hanyalah dongeng yang enggan menyentuh cerita akhir. Aku
tahu hari-hari bergulir begitu jahat, hingga sentuhanmu
yang sebenarnya lembut terasa begitu kasar oleh indraku. Tak
ada kebahagiaan yang mengamit relungku, ketika kulitmu
bersentuhan dengan kulitku. Tak ada senyuman, hanya ada
tatapan heran.

Kenapa harus aku?

Sungguh, aku sempat memercayai retorika yang melekat dalam
pertemuan kita. Jiwaku mengalir bersama kehadiranmu yang
perlahan-lahan mengisi lalu meluap. Ada decak bahagia kala
itu. Ketika kepolosan wajahmu memunculkan perhatianku. Ada
kejujuran yang mengatur setiap pertemuan kita. Sungguh tak
ada rekayasa. Sungguh tak ada kebohongan.

Tapi, mengapa sekarang semua terasa berbeda?
Namun, seiring berjalannya waktu, entah mengapa kautelah
mengubah diriku menjadi seseorang yang bahkan tidak
kukenal. Bahkan perasaanku seakan kaupasangi sensor
pengatur, agar aku bisa kausakiti, agar aku bisa kaulukai.
Kejujuran itu berubah menjadi rasa sakit yang lukanya tak
terjamah olehmu. Kebahagiaan awal pertemuan kita seakan-
akan telah hilang dan takkan pernah terulang.

Mengapa harus aku? Lagi dan lagi.

Rasanya aku tak berdaya ketika tanganmu membekas merah di
pipiku. Seperti lidahku di gondol kucing, ketika amarahmu
memecahkan beberapa piring. Aku terdiam saat kebencianmu
menghambur lewat bibirmu. Aku seperti patung yang bahkan
tak mampu menggerakan tubuhnya. Aku hanya merindukan
kamu yang dulu. Dan... kenyataan pahit yang harus kuterima,
bahwa dirimu yang dulu tak akan pernah kembali.

Kebohonganmu, terlihat biasa di mataku. Arogansimu adalah
makanan sehari-hariku. Kaulatih aku menjadi wanita buta
rasa, yang bahkan tak bisa membandingkan mana luka dan
mana bahagia. Tak ada bahagia dalam semestamu, tapi entah
mengapa aku tak dapat lepas dari jerat itu. Aku terlampau
lumrah dengan arogansimu. Aku terlalu menganggap
sederhana tamparan dan makianmu itu.

Aku terlalu sering disakiti, mungkin itulah sebabnya
perasaanku mati. Bahkan aku hanya mampu berdiam diri,
ketika kutahu kau telah membagi hati, untuk seseorang (yang
menurutmu) lebih baik dariku.

Betapapun kamu tak mengerti, bahwa aku membunuh diriku
sendiri hanya untuk membuatmu hidup dan bernapas.

@rechajunior

Tidak ada komentar:

Posting Komentar