Selasa, 05 November 2013

SEBULAN tanpamu

Aku terbangun seperti biasa. Menatap handphone beberapa
lama lalu melirik diam-diam ke arah jam. Menatap langit-
langit kamar yang sama. Letak lemari, meja belajar, dan rak
buku juga masih sama. Tak ada yang berbeda di sini. Aku masih
bernapas, jantungku masih berdetak, dan denyut nadiku masih
bekerja dengan normal. Memang, semua terlihat mengalir dan
bergerak seperti biasa, tapi apakah yang terlihat oleh mata
benar-benar sama dengan yang dirasakan oleh hati?

Mataku berkunang-kunang, pagi tadi memang sangat dingin.
Aku menarik selimut dan membiarkan wajahku tenggelam di
sana. Dan, tetap saja tak kutemukan kehangatan, tetap
mengigil— aku sendirian. Dengan kenangan yang masih
menempel dalam sudut-sudut luas otak, seakan membekukan
kinerja hati. Aku berharap semua hanya mimpi, dan ada
seseorang yang secara sukarela membangunkanku atau
menampar wajahku dengan sangat keras. Sungguh, aku ingin
tersadar dari bayang-bayang yang terlalu sering kukejar.
Sekali lagi, aku masih sendiri, bermain dengan masa lalu yang
sebenarnya tak pernah ingin kuingat lagi.

Sudah tanggal 6. Seberapa pentingkah tanggal 6? Ya...
memang tidak penting bagi siapapun yang tak mengalami hal
spesial di tanggal enam. Kita masuk ke bulan november. Bulan
yang baru. Harapan baru. Mimpi yang baru. Cita-cita baru.
Juga kadang, tak ada yang baru. Aku hanya ingin kautahu,
tak semua yang baru menjamin kebahagiaan. Dan, tak semua
yang disebut masa lalu akan menghasilkan air mata. Aku
begitu yakin pada hal itu, sampai pada akhirnya aku tahu
rasanya perpisahan. Aku tahu rasanya melepaskan diri dari
segala hal yang sebenarnya tak pernah ingin kutinggalkan.
Aku semakin tahu, masa lalu setidaknya selalu jadi sebab.
Kamu, yang dulu kumiliki tak lagi bisa kugenggam dengan
jemari.

Kita berpisah, tanpa alasan yang jelas, tanpa diskusi dan
interupsi. Iya, berpisah, begitu saja. Seakan-akan semua
hanyalah masalah sepele, bisa begitu mudah disentil oleh satu
hentakkan kecil. Sangat mudah, sampai aku tak benar-benar
mengerti, apakah kita memang telah benar-benar berpisah?
Atau dulu, sebenarnya kita tak punya keterikatan apa-apa.
Hanya saja aku dan kamu senang mendengungkan rasa yang
sama, cinta yang dulu kita bela begitu manis berbisik. Lirih...
dingin... memesona... Segala yang semu menggoda aku dan
kamu, kemudian menyatulah kita, dalam rasa (yang katanya)
cinta.

Aku mulai berani melewati banyak hal bersamamu. Kita
habiskan waktu, dengan langkah yang sama, dengan denyut
yang tak berbeda, begitu seirama... tanpa cela, tanpa cacat.
Sempurna. Dan, aku bahagia. Bahagia? Benarkah aku dan
kamu pernah merasa bahagia? Jika iya, mengapa kita memilih
perpisahan sebagai jalan? Jika bahagia adalah jawaban,
mengapa aku dan kamu masih sering bertanya-tanya? Pada
Tuhan, pada manusia lainnya, dan pada hati kita sendiri.

Kenapa harus kau ubah mimpi menjadi api? Mengapa kau ubah
pelangi menjadi bui? Mengapa harus kauciptakkan luka, jika
selama ini kaumerasa kita telah sampai di puncak bahagia?
Kegelisahanku meningkat, ketika aku memikirkanmu, ketika
aku memikirkan pola makanmu, juga kesehatanmu. Aku bahkan
masih mengkhawatirkanmu, masih diam-diam mencari tahu
kabarmu, dan aku masih merasa sakit jika tahu sudah ada
yang lain, yang mengisi kekosongan hatimu. Seharusnya, aku
tak perlu merasa seperti itu, karena kau masa lalu, karena
kita tak terikat apa-apa lagi. Benar, akulah yang bodoh, yang
tak memutuskan diri untuk segera berhenti. Aku masih
berjalan, terus berjalan, dengan penutup mata yang tak
ingin kubuka. Semuanya gelap, tanpamu... kosong.

Ternyata, hari berlalu dengan sangat cepat. Sudah sebulan,
dan sudah tak terhitung lagi berapa frasa kata yang terucap
untukmu di dalam doa. Salahku, yang terlalu perasa. Salahku,
yang mengartikan segalanya dengan sangat berani. Kupikir,
dengan ikuti aturanku, semua akan semakin sempurna. Lagi
dan lagi, aku salah, dan kamu memilih untuk pergi. Ini juga
salahku, karena tak mengunci langkahmu ketika ingin
menjauh.

Setelah perpisahan itu, hari-hari yang kulalui masih sama.
Aku masih mengerjakan rutinitasku. Dan, aku mulai berusaha
mencari penggantimu. Mereka berlalu-lalang, datang dan
pergi, ada yang diam berlama-lama, ada yang hanya ingin
singgah. Semua berotasi, berputar, dan berganti. Namun, tak
ada lagi yang sama, kali ini semua berbeda. Tak ada kamu yang
dulu, tak ada kita yang dulu. Ya, kenangan berasal dari masa
lalu tapi tetap punya tempat tersendiri di hati yang sedang
bergerak ke masa depan.

Hidupku tak lagi sama, dan aku masih berjuang untuk
melupakan sosokmu yang tak lagi terengkuh oleh pelukkan.
Padahal, aku masih jalani hari yang sama, aku masih menjadi
diriku, dan jiwaku masih lekat dengan tubuhku. Tapi, masih
ada yang kurang dan berbeda. Kesunyian ini bernama...
tanpamu.

Jika jemari ditakdirkan untuk menghapus air mata, mengapa
kali ini aku menghapus air mataku sendiri? Di manakah
jemarimu saat tak bisa kauhapuskan air mataku?

@rechajunior

Tidak ada komentar:

Posting Komentar