Selasa, 05 November 2013

2minggu setelah kepergianmu

Aku pernah jadi yang paling bahagia dalam rangkul pelukmu.
Aku pernah berada dalam keadaan baik-baik saja saat
jemarimu masih erat menggenggam jemariku. Kita pernah
merasa bahwa yang aku dan kamu jalani adalah yang selama
ini kita cari-cari, kebahagiaan yang nyata meskipun kita
berbeda.

Sudah lewat dua minggu sejak kepergian kamu dan
ingatanku masih sangat tajam mengenang kita yang dulu
pernah ada. Aku pernah kaubuat tertawa dalam setiap canda
kita, dalam setiap pesan singkat, dalam setiap sambungan
telepon, dan dalam setiap tatap mata. Saat itu, aku percaya
bahwa kamulah yang kelak akan membukakan mataku tentang
cinta, mengubah persepsiku bahwa cinta tak selalu luka dan
dusta. Hadirmu membuat aku percaya, bahwa kita sedang
menuju bahagia, aku dan kamu sedang dalam perjalanan
menuju ujung pencarian kita. Tapi, akupun yang selalu bicara
tentang cinta; ternyata bisa juga salah.

Aku salah mengartikan semuanya. Kupikir perhatianmu
sungguh kautunjukkan untukku. Kukira segala ungkapan dan
ucapanmu adalah hal mutlak yang menjadi peganganku.
Kuterka bahwa yang selama ini kita jalani adalah kekuatan
cinta. Ah, aku begitu cepat menduga. Yang selama ini kuberi
nama cinta, hanyalah omong kosong belaka. Yang kukira
perasaanmu nyata, ternyata hanya rasa iseng yang pura-pura
kauseriusi. Dalam pikiranmu, aku dianggap sebagai medan
permainan, tempat kaumelarikan kekesalan pada dunia yang
tak lagi tunduk pada keinginanmu. Kauperlakukan aku
layaknya boneka, kaulumpuhkan hatinya, kaubutakan
perasaannya, lalu kauatur segalanya. Kaurancang semuanya,
hingga mataku buta, hingga telingaku tuli; hingga aku tak
bisa membedakan mana cinta dan mana dusta.

Aku tak tahu, apakah kata sayang yang selama ini kaubisikan
dalam setiap percakapan kita, hanyalah bualan yang kaupikir
bisa dijadikan bahan candaan? Kamu pernah berjanji,
Sayang. Ketika kuceritakan tentang dia yang pernah
melukaiku, kamu berjanji tak akan berikan luka yang sama
padaku. Kalau aku diizinkan mengungkit segalanya, lantas
mengapa kaupergi ketika aku sedang cinta-cintanya?
Setelah kepergianmu, kamu tak pernah lagi pulang. Bahkan
untuk sekadar tahu kabarku, bahkan untuk sedikit saja
menyapaku; kamu tak mau. Kita berpisah tanpa kata pisah.
Kita menjauh tanpa pernah tahu yang sesungguhnya terjadi.

Rasanya ingin kukatakan berkali-kali bahwa bukan ini yang
kumau, bahwa bukan kepergianmu yang selama ini kutunggu.
Kubiarkan kauterus mendekatiku, kuterima kaudalam keadaan
terburukmu, kurangkul kaudalam doa dan nyata; tapi
nyatanya kaubikin aku begini tersiksa.

Aku menunggu saat-saat aku dan kamu bisa melebur jadi satu.
Saat aku dan kamu melupakan perbedaan kita, saat-saat aku
tak peduli berapa tebal dompetmu, saat aku tak peduli dengan
kendaraan yang kautunggangi. Aku sudah berada dalam titik
itu, tapi kauterus diam, tak ingin kuajak berjalan dan
melangkah terlalu jauh. Jika selama ini semua terasa begitu
manis, mengapa kauberikan aku sesuatu yang sangat pahit di
akhir, Sayang?

Dua minggu setelah kepergian kamu. Tak banyak
berubah. Langitku masih sama, mendungku masih ada. Sakit ku masih parah, lukaku masih merah. Hatiku masih lebam,
ingatanku masih keram. Kamu datang dan pergi sesuka hati,
membiarkanku jadi penonton dalam dramamu. Kamu berganti-
ganti topeng sesuka hati, membiarkanku kebingungan
membedakan dirimu yang sesungguhnya masih begitu abu-abu.
Tak pantas lagi mengharapmu kembali, kamu yang dua minggu lalu masih begitu manis, tiba-tiba sekarang jadi
begitu sadis. Kamu yang kukenal baik, lugu, dan tak banyak
tingkah; kini sudah berganti wajah. Aku tak paham pria
macam apa yang dulu kucintai. Ketololanku semakin lengkap
ketika kutahu, kamu begitu mudah punya yang baru,

sementara di sini aku masih sibuk menyembuhkan lukaku.
Di antara rasa lelah menunggu, di antara kesabaran merindu;
ternyata aku masih berani merapal namamu dalam doaku.
Selamat dua minggu, Sayang. Kapan pulang?

@rechajunior

Tidak ada komentar:

Posting Komentar