Kamis, 07 November 2013

SETELAH KEPERGIANMU

Tak ada lagi kamu yang memenuhi kotak inbox di handphone-
ku. Tak ada lagi sapamu sebelum tidur yang membuncah riuh di
telingaku.Tanpamu... semua berbeda dan
tak lagi sama.
Aku membuka mata dan berharap hari-hariku berjalan seperti
biasanya, walau tanpamu, walau tak ada kamu yang memenuhi
hari-hariku. Seringkali aku terbiasa melirik ke layar
handphone, namun tak ada lagi ucapan selamat pagi darimu
dengan beberapa emote kiss yang memasok energiku. Pagi
yang berbeda. Ada sesuatu yang hilang.
Lalu, aku menjalani semua aktivitasku, seperti biasa, kamu
tentu tahu itu. Dulu, kamu memang selalu mengerti kegiatan
dan rutinitasku. Namun, sekarang tak ada lagi kamu yang
berperan aktif dalam siang dan malamku. Tak ada lagi pesan
singkat yang mengingatkan untuk menjaga pola makan
ataupun menjaga kesehatan. Bukan masalah besar memang,
aku mandiri dan sangat tahu hal-hal yang harusnya aku
lakukan. Tapi... kamu tentu tahu, tak mudah mengikhlaskan
perpisahan.

Rasa ini begitu absurd dan sulit untuk dideskripsikan. Kamu
membawa jiwaku melayang ke negeri antah-berantah, dan
mengasingkan aku ke dunia yang bahkan tak kuketahui. Aku
bercermin, memerhatikan setiap lekuk wajahku dan tubuhku.

Aku tak mengenal sosok di dalam cermin itu. Tak ada aku dalam
cermin yang kuperhatikan sejak tadi. Aku berbeda dan tidak
lagi mengenal siapa diriku. Seseorang yang kukenal di dalam
tubuhku kini menghilang secara magis setelah kepergian
kamu. Kamu merampas habis cinta yang kupunya,
melarikannya ke suatu tempat yang sulit kujangkau. Entah di
mana aku bisa menemukan diriku yang telah hilang itu. Entah
bagaimana caranya mengembalikan sosok yang kukenal itu ke
dalam tubuhku. Aku kebingungan dan kehilangan arah.

Ingin rasanya aku melempari segala macam benda agar bisa
memecahkan cermin itu. Agar aku tak bisa lagi melihat diriku
yang tak lagi kukenal. Agar aku tak perlu menyadari
perubahan yang begitu besar terjadi setelah kehilangan
kamu. Aku bisa berhenti memercayai cinta jika terlalu sering
tenggelam dalam rasa frustasi seperti ini. Aku mungkin akan
berhenti memercayai lawan jenis dan segala janji-janji
tololnya. Siksaanmu terlalu besar untukku, aku terlalu lemah
untuk merasakan semua rasa sakit yang telah kausebabkan.

Bagaimana mungkin aku bisa menemukan seseorang yang lebih
sempurna jika aku pernah memiliki yang paling sempurna?
Aku benci pada perpisahan. Entah mengapa dalam peristiwa
itu harus ada yang terluka, sementara yang lainnya bisa saja
bahagia ataupun tertawa. Kamu tertawa dan aku terluka.

Kita seperti saling menyakiti, tanpa tahu apa yang patut
dibenci. Kita seperti saling memendam dendam, tanpa tahu
apa yang harus dipermasalahkan.

Aku menangis sejadi-jadinya, sedalam-dalamnya, atas dasar
cinta. Kamu tertawa sekeras-kerasnya, sekencang-
kencangnya, atas dasar... entah harus kusebut apa. Aku tak
pernah mengerti jalan pikiranmu yang terlampau rumit itu.
Aku merasa sangat kehilangan, sementara kamu dalam
hitungan jam telah menemukan yang baru. Bagaimana
mungkin aku harus menyebut semua adalah wujud kesetiaan?
Begitu sulitnya aku melupakanmu, dan begitu mudahnya kamu
melupakanku. Inikah caramu menyakiti seseorang yang tak
pantas kaulukai?

Jam berganti hari, dan semua berputar... tetap berotasi. Aku
jalani hidupku, tentu saja tanpa kamu. Kamu lanjutkan
hidupmu, tentu saja dengan dia. Aku tak menyangka, begitu
mudahnya kamu menemukan pengganti. Begitu gampangnya
kamu melupakan semua yang telah terjadi. Aku hanya ingin
tahu isi otakmu saja, apa kamu tak pernah memikirkan
mendung yang semakin menghitam di hatiku? Atau... mungkin
saja tak punya hati?

Tak banyak hal yang bisa kulakukan, selain mengikhlaskan.
Tak ada hal yang mampu kuperjuangkan, selain membiarkanmu
pergi dan tak berharap kamu menorehkan luka lagi. Aku hanya
berusaha menikmati luka, hingga aku terbiasa dan akan
menganggapnya tak ada. Kepergianmu yang tak beralasan,
kehilangan yang begitu menyakitkan, telah menjadi candu
yang kunikmati sakitnya.

Aku mulai suka air mata yang seringkali jatuh untukmu. Aku
mulai menikmati saat-saat napasku sesak ketika
mengingatmu. Aku mulai jatuh cinta pada rasa sakit yang
kauciptakan selama ini.

Terima kasih.

Dengan luka seperti ini. Dengan rasa sakit sedalam ini. Aku
jadi tambah sering menulis. Lebih banyak dari biasanya.

Aku semakin percaya, bahwa Kahlil Gibran butuh rasa sakit
agar ia bisa menulis banyak hal.

Sama seperti aku, butuh rasa sakit agar bisa lancar menulis...
terutama yang bercerita tentangmu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar