Selasa, 05 November 2013

LIMA MINGGU TANPAMU

Aku tak pernah sesedih ini. Kukira waktu yang kubutuhkan
untuk melupakanmu juga tak sepanjang ini. Aku salah besar,
hari-hari yang kulalui, bersama dengan usaha untuk
melupakanmu, ternyata tak menemukan titik temu. Kamu
masih jadi segalanya, masih berdiam dalam kepala, masih jadi
yang paling penting dalam hati. Maaf, jika segala
kejujuranku terdengar bodoh. Sebentar lagi, kamu pasti akan
berkata bahwa sikapku berlebihan. Seandainya sekarang aku
berada di sampingmu, akan kuceritakan sebuah kisah tentang
melupakan dan mengikhlaskan, sungguh dua hal itu bukanlah
hal yang mudah.

Lima minggu harusnya waktu yang sangat cukup untuk
menghilangkan perasaan, namun ternyata aku tak termasuk
dalam pernyataan itu. Hari berganti minggu dan sosokmu
masih jadi penunggu, menyergap perhatianku, menguji
imanku, dan merontokan kepercayaanku. Tubuhku dingin dan
menggigil saat menghadapi perpisahan. Aku tak punya banyak
pelukan hangat, sehangat rangkulanmu yang melingkar manis
di bahuku. Belum kutemukan bisikan lembut, selembut ketika
kamu berbisik tentang cinta, mimpi, dan harapan-harapan
yang dulu ingin kita wujudkan berdua.

Sekali lagi aku katakan, melupakan tak akan pernah mudah.
Merelakan yang pernah ada menjadi tidak ada adalah
kerumitan yang belum tentu kautahu rasanya. Aku menulis ini
saat aku terlalu lelah dihajar kenangan. Mengapa di otakku;
kautak pernah hilang barang sedetik saja? Perkenalan kita
terlalu singkat untuk disebut cinta dan terlalu dalam jika
disebut ketertarikan sesaat. Aku tak tahu harus diberi nama
apa kedekatan kita dulu. Aku tak mengerti mengapa aku yang
tak mudah tergoda ini malah begitu saja terjebak dalam
perhatian dan tindakanmu yang berbeda. Kamu sangat luar
biasa di mataku, dulu dan sekarang; tetap sama.

Dan, aku masih menangisi juga menyesali yang sempat
terjadi. Bertanya-tanya dalam hati, mengapa semua harus
berakhir sesakit ini? Apa tujuanmu menyakitiku jika dulu kita
pernah menjadi belahan jiwa yang enggan saling melepaskan?
Aku tak tahu sedang berbuat apa kamu di sana. Aku tak lagi
tahu kabarmu. Segala ketidaktahuanku mengantarkan
perasaanku pada perasaan asing, rindu yang semakin hari
semakin berontak. Rindu yang meminta pertemuan nyata.
Rindu yang memaksa dua orang yang sekarang berjauhan
untuk kembali berdekatan.

Kalau aku berada di sampingmu sekarang, ingin rasanya aku
mengulang segalanya. Kuperbudak waktu, kuhentikan detak
jarum jam semauku. Agar yang hadir dalam hari-hariku
hanyalah kamu, hanyalah kita, dan hanyalah bahagia tanpa
air mata. Seandainya hal itu bisa kulakukan, mungkin
sekarang aku tak akan merindukanmu sesering dan sedalam
sekarang.

Terakhir kita bertemu, ketika kita memutuskan untuk
mengakhiri segalanya, ketika pelukmu tak lagi kurasakan, dan
ketika akhirnya kita memilih berjauhan; semua jadi begitu
berbeda. Perbedaan yang berulang kali berusaha kupahami,
namun tak kunjung kumengerti. Bisakah kaumembantuku
untuk memudahkan segalanya? Agar aku bisa menerima, bisa
mengikhlaskan, bisa merelakan dengan sangat gampang!

Benarkah ini semua hanya bualanmu? Betulkah kebersamaan
kita hanya kauanggap sebagai permainan? Mengapa aku
terlalu bodoh untuk membaca hal itu dari awal? Apa karena
kauterlalu berkilau, hingga mataku terlanjur buta dan
telingaku seketika tuli, jadi yang kulihat dan kudengar hanya
bisikan harapan yang sebenarnya sungguh bukanlah
kenyataan.

Berhenti menyiksa aku dengan segala macam rindu dan
kenangan, atau mungkin aku yang menyiksa diriku sendiri
karena tak mampu melupakanmu? Ah, sudahlah, aku cuma
ingin memberitahu, kita sudah lima minggu berpisah dan
berjalan sendiri-sendiri. Jadi, apa kabar kamu sekarang?

Apakah kamu masih semanis dan semenyenangkan dulu?
Ataukah kamu yang sekarang adalah kamu yang tanpa topeng,
kamu yang ternyata jauh berbeda dari yang kukira?
Aku benci harus mengakui ini. Aku sering merindukanmu dan
memendam perasaanku. Tersiksa dengan angan sendiri,
mengiris hati dengan kemauan sendiri. Aku ingin mengaku
(dengan sangat terpaksa) bahwa aku masih mencintaimu dan
berharap kamu kembali, walaupun hanya untuk
menenangkankudan berkata bahwa segalanya akan baik-baik
saja.

Kamu ingin kembali? Iya? Masa?

Kamu ingin kembali? Tidak? Oke.

@rechajunior

Tidak ada komentar:

Posting Komentar